Delapan Pelajaran Dakwah dari Kisah Yusuf PKSTaktakan.org - Sayyid Qutb menyatakan dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an, bahwa satu-satunya surah yang Allah turunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada masa-masa sulit dalam sejarah dakwah dan kehidupannya, adalah surah Yusuf. Surah ini diturunkan antara ‘amul huzni (tahun duka cita karena kematian Abu Thalib dan Khadijah) dan antara baiat Aqabah pertama yang dilanjutkan dengan Baiat Aqabah kedua. Pada saat itu selain mengalami kesedihan karena ditinggal dua orang yang menjadi sandarannya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga mengalami kesedihan akibat pengasingan dan keterputusan hubungan di tengah-tengah masyarakat Quraisy.Maka Allah menceritakan kepada Nabi-Nya yang mulia ini kisah Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim, yang juga mengalami berbagai macam ujian dan cobaan. Yaitu ujian berupa tipu daya dari saudara-saudaranya, dimasukkan ke dalam sumur dengan penuh rasa takut. Kemudian menjadi budak yang diperjual belikan dari satu tangan ke tangan yang lain, dengan tidak ada perlindungan dari orang tua dan keluarganya. Setelah itu ia diuji dengan tipu daya dari istri penguasa Mesir. Selanjutnya ia diuji dengan dimasukkan ke dalam penjara setelah sebelumnya hidup dalam kelapangan dan kemewahan di istana sang penguasa.Setelah diuji dengan kepahitan, berikutnya Yusuf diuji dengan kemakmuran dan kekuasaan yang mutlak ditangannya, mengatur urusan pangan dan perekonomian masyarakat. Akhirnya ia diuji berupa rasa kemanusiaan dalam menghadapi saudara-saudaranya yang dahulu telah memasukkannya ke dalam sumur dan merekalah yang menjadi sebab bagi ujian-ujian dan penderitaan dalam hidupnya.Semua ujian dan cobaan itu dihadapi Yusuf dengan sabar sambil terus mendakwahkan Islam dari celah-celahnya. Pada akhirnya ia dapat lepas dari semua ujian dan cobaan itu.Surah ini, kata Sayyid Qutb, bertujuan untuk menyenangkan, menghibur, dan menenangkan serta memantapkan hati orang terusir, terisolir, dan menderita, yakni Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Didalamnya diisyaratkan tentang berlakunya sunnah Allah ketika para rasul sudah merasa putus asa menghadapi kaumnya, bahwa akan ada jalan keluar yang membawa kepada kegembiraan yang didambakan setelah sekian lama mengalami ujian dan cobaan.[1]Ahsanul QasasiSurah Yusuf disebut oleh Allah Ta’ala sebagai ahsanul qasasi (kisah yang paling baik), karena di dalamnya banyak mengandung ‘ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai akal.Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf, 12: 111).Secara khusus surah ini pun menjadi bekalan yang sangat berharga bagi harakah Islamiyah di masa kini untuk menyiapkan kesabaran di atas kesabaran dalam mengarungi kehidupan, terlebih lagi dalam mengarungi kehidupan perjuangan di jalan Allah.Sedikitnya ada delapan pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari surah Yusuf ini,Pertama, pelajaran tentang perlunya mewaspadai kaum pendengki dengan cara merahasiakan berita yang mungkin dapat mengusik mereka.Ucapan Ya’qub kepada Yusuf yang dimuat dalam ayat 4 – 5 menggambarkan hal ini:(Ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”Ibnu Katsir mengatakan bahwa Ya’qub mengkhawatirkan Yusuf akan menceritakan mimpinya kepada salah seorang saudaranya, padahal mimpi itu dapat menimbulkan kedengkian diantara mereka, karena takwil mimpi itu menggambarkan ketundukan, penghormatan, pengagungan, dan pemuliaan mereka kepada Yusuf dengan berlebihan hingga mereka tersungkur sambil bersujud.Ayat ini memberikan pelajaran kepada harakah Islamiyah untuk berhati-hati dalam menyampaikan materi dakwah. Tidak semua berita harus diberitakan segera. Tidak semua ilmu harus disampaikan segera. Adakalanya berita-berita harus ‘disembunyikan’ untuk menghindarkan diri dan jama’ah dari kemudharatan yang mungkin timbul. Apalagi kaum pendengki senantiasa mencari celah untuk menghantam dan melemahkan harakah Islamiyah.Islam bahkan mengajarkan, kadang-kadang bukan hanya ‘berita buruk’ saja yang harus disembunyikan, tetapi juga ‘berita baik’.Masih ingat kisah Abu Hurairah dan sandal Rasulullah? Perhatikanlah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini:Suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sandal beliau kepada Abu Hurairah seraya berkata, “Hai Abu Hurairah, pergilah kamu, bawa sandalku ini. Lalu, siapa saja yang kamu temui di balik tembok ini, yang telah menyatakan bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya, dia akan masuk surga.”Maka yang pertama-tama ditemui Abu Hurairah ialah Umar bin Khattab. Dia bertanya, “Apa maksud sepasang sandal ini, Hai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Ini sandal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyuruh aku membawanya (dengan pesan), siapa saja yang aku temui telah menyatakan, bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka aku beri kabar gembira, dia bakal masuk surga.”Mendengar hal itu, tiba-tiba Umar menghantamkan tangannya ke dada Abu Hurairah sampai ia jatuh terduduk, seraya berkata, “Kembali, hai Abu Hurairah!”. Maka Abu Hurairah pun kembali menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setengah menangis, sementara Umar membuntutinya.“Kenapa kamu hai Abu Hurairah?” Tanya Rasul kepada Abu Hurairah. Ia menjawab, “Saya bertemu Umar, lalu saya beritahu dia apa yang telah tuan perintahkan kepadaku, tapi tiba-tiba dia memukul dadaku sampai aku jatuh terduduk, seraya menyuruh aku kembali.”“Hai Umar,” Rasul bertanya kepada Umar, “Kenapa kamu melakukan seperti ini?”Umar menjawab, “Ya Rasulullah, aku tebus engkau dengan ayah bundaku, benarkah engkau menyuruh Abu Hurairah membawa sandalmu (dengan berpesan), barangsiapa yang dia temui telah menyatakan tiada Tuhan melainkan Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka dia beri kabar gembira bakal masuk surga?”“Benar,” jawab Rasul. Maka Umar menyarankan, “Jangan lakukan itu. Karena saya benar-benar khawatir orang-orang akan mengandalkan kata-kata itu saja. Sebaiknya, biarkanlah mereka beramal.” Akhirnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kalau begitu, biarkan mereka.”Dari hadits ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa realita pemahaman masyarakat kadang-kadang mengharuskan kita untuk sabar dan tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan tahapan ini atau itu dalam berdakwah.Kita hendaknya menyampaikan dakwah hanya kepada orang yang telah siap mendengarkan dan menghargainya serta memahami di mana posisi dari perkara yang diserukan dalam Islam secara keseluruhan.Sudah seharusnya pula kita menyampaikan dakwah pada saat yang tepat, pada tempat dan kerangka yang bisa memperjelas hakekat dan arti sebenarnya dari perkara yang diserukan tersebut, serta dapat menghilangkan keraguan yang mungkin terjadi. Jangan sampai dakwah menimbulkan kesalahfahaman orang terhadap sistem Islam, karena ada masalah-masalah yang baru bisa difahami setelah memahami dulu masalah-masalah lainnya.Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pandangan Umar untuk mencegah tersebarnya kabar gembira seperti di atas di kalangan orang banyak saat itu. Meskipun akhirnya Abu Hurairah menyampaikan juga hadits ini, tentu saja ketika dia tahu telah tiba saatnya yang tepat bagi kaum muslimin untuk memahaminya secara tuntas.[2]Kembali lagi pada masalah kewaspadaan terhadap kaum pendengki, dalam ayat ini pun di isyaratkan bahwa kaum pendengki itu tidak selalu berasal dari kalangan eksternal, tapi mungkin juga datang dari kalangan internal.Walaupun memiliki hubungan darah, saudara-saudara Yusuf ternyata merasa cemburu, iri, dan dengki, sehingga tega merencanakan makar dengan didasari kepentingan yang sama. Mereka merekayasa tipu daya, kebohongan, bersandiwara, dan mengajukan bukti-bukti palsu demi untuk memuaskan kedengkian mereka kepada Yusuf. Bahkan saking dengkinya, diantara saudara-saudara Yusuf ada yang mengusulkan upaya pembunuhan terhadap Yusuf. (lihat: surah Yusuf ayat 8 – 18).Kedua, pelajaran tentang pentingnya menghadirkan kesabaran dalam menghadapi makar musuh.Di jalan dakwah ini, seorang aktivis harus memiliki kesiapan mental untuk menghadapi makar para pendengki dan musuh dakwah. Karena makar itu adakalanya mencoreng kehormatan dan menjadikan mereka terhina. Namun yakinilah, selama mereka ikhlash dalam melangkah, Allah Ta’ala akan senantiasa membimbing dan menolongnya. Apalagi cobaan itu hanyalah untuk sementara waktu saja sifatnya.Kisah dalam surah Yusuf mengajarkan bahwa harus ada kesabaran di atas kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan. Yusuf setelah dimasukkan ke dalam sumur dan dipungut oleh kafilah dagang, dijadikan budak belian yang begitu terhina. Bahkan di ayat 20 disebutkan, beliau dijual dengan harga yang murah,“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”Sesungguhnya kesabaran itu akan menggiring kita pada kebangkitan. Makar para pendengki kadang menjadi kesempatan bagi para da’i untuk mengkonsolidasikan kekuatan. Ia menjadi wahana tarbiyah rabbaniyyah dalam rangka mematangkan kesiapannya mengarungi medan yang lebih luas.Lihatlah Yusuf, karena kesabarannya kemudian Allah menyiapkan untuknya seorang pembeli dari Mesir yang akan memperhatikan dan memuliakannya. Yusuf ditempatkan oleh Allah di negeri Mesir lalu dikuatkanlah ia dengan hikmah dan ilmu, “…dan agar kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. Dan tatkala dia cukup dewasa, kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yusuf, 12: 22).Tentang ayat ini Sayyid Qutb berkata, “Inilah Yusuf! Saudara-saudaranya menghendaki sesuatu terhadapnya, tetapi Allah menghendaki sesuatu yang lain untuknya. Karena Allah itu berkuasa atas segala urusan-Nya. Sedangkan saudara-saudara Yusuf, mereka tidak berkuasa atas urusan mereka sehingga Yusuf dapat lepas dari tangan mereka dan bebas dari apa yang mereka kehendaki terhadapnya…”Jadi, makar kaum pendengki kadang malah jadi penghantar menuju kemenangan dan kemuliaan dari Allah. Makar yang mereka rencanakan dijadikan jalan oleh Allah untuk menggenapkan rencana-rencana-Nya.“Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml, 27: 50)Allahu Akbar wa lillahil hamd!Ketiga, pelajaran tentang kesadaran akan keniscayaan ujian yang akan datang silih berganti.Karena ujian adalah sunnatullah yang pasti berlaku dan tidak mungkin dihindari.Di jalan dakwah ini para da’i pasti mengalami ujian berupa hambatan, rintangan, dan godaan. Semuanya akan datang berturut-turut silih berganti. Yusufpun mengalami hal itu. Setelah sejenak bernafas lega dapat tinggal di istana, datanglah godaan menghampirinya: godaan wanita!“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS. Yusuf, 12: 23 – 24)Namun dengan bekal keimanan, Yusuf mampu menghindarkan dirinya dari perbuatan tercela itu. Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Yusuf. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.Potongan ayat ini menamkan pelajaran yang berharga kepada para pengemban dakwah, bahwa mereka harus selalu waspada pada setiap godaan dunia. Mereka harus selalu memperkuat sikap ihsan. Jangan sampai mengalami disorientasi dalam kehidupan. Dengan demikian mereka perlu melakukan tazkiyatu nafs secara berkesinambungan agar tidak mudah tergoda dunia.Penolakan Yusuf tersebut ternyata berbuntut panjang. Wanita penggoda Yusuf itu menimpakan kecelakaan berikutnya dengan melemparkan tuduhan keji kepadanya. Jadilah Yusuf tertuduh.“Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: ‘Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?’ (QS. Yusuf, 12: 25)Inilah konsekwensi sikap konsisten pada kebenaran. Bersiaplah dengan fitnah-fitnah yang akan datang. Bersabarlah. Bertahanlah dalam kebenaran. Allah pasti menolong hambanya yang berpegang teguh pada kebenaran dalam situasi sesempit apa pun.Lihatlah Yusuf, dalam keadaan terpojok dengan tuduhan keji dan berusaha membela diri, ternyata Allah berkenan membelanya dengan cara mendatangkan orang-orang yang adil dan bersikap objektif. Bahkan orang yang menjadi pembela tersebut berasal dari lingkungan keluarga wanita penuduh itu sendiri.“Yusuf berkata: ‘Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.’ (QS. Yusuf, 12: 26-27).Yusuf kemudian diminta merahasiakan kejadian yang memalukan itu (lihat: ayat 29). Tetapi tetap saja berita itu tersebar luas di masyarakat. Meskipun ia tidak bersalah, namun gosip itu tetap saja membuatnya tidak nyaman.“Dan wanita-wanita di kota berkata: ‘Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.’ (QS. Yusuf, 12: 30).Gosip-gosip tidak sedap adalah bentuk lain dari ujian dan cobaan. Setiap da’i harus menghadapinya dengan sabar. Kadang ada segelintir orang yang merekayasa gosip-gosip tidak sedap itu, bahkan sampai pada upaya pemutarbalikan fakta. Inilah yang terjadi kepada Yusuf.“Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu.” (QS. Yusuf, 12: 35)Tentang ayat ini Ibnu Katsir berkata, “Mereka memenjarakannya (Yusuf) setelah tersiar berita yang mengesankan seolah-olah Yusuflah yang merayu istri Al-Aziz.”Begitulah, ujian datang bertubi-tubi. Yusuf kemudian dipenjara, meskipun ia tidak bersalah. Ruang geraknya dibatasi demi melindungi aib istri pejabat yang tengah terpikat dan bergelora cintanya. Yusuf tetap bersabar. Di satu sisi ia pun bersyukur karena Allah telah mengabulkan do’anya,“Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 12: 33).Ya, penjara baginya lebih baik daripada terganggu oleh godaan wanita yang tetap bernafsu untuk menundukkannya (lihat: ayat 32).Keempat, pelajaran tentang dakwah yang tidak kenal henti.Dalam situasi sesulit apa pun, dan kondisi yang sempit, dakwah tetap harus dikobarkan.Bersama Yusuf masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. Keduanya meminta kepada Yusuf untuk mentakwilkan mimpi mereka, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.” dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.” Dua orang pemuda itu adalah pelayan-pelayan raja; seorang pelayan yang mengurusi minuman raja dan yang seorang lagi tukang buat roti.Perhatikanlah bagaimana Yusuf memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan dakwahnya,“Yusuf berkata: ‘Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian.Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha PerkasaApa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf, 12: 37- 40).Ayat ini menggambarkan kepiawaian Yusuf dalam berkomunikasi. Sayyid Qutb berkata, “Tampak sekali metode pembicaraan Yusuf yang halus dalam memasuki jiwa orang tersebut. Tampak pula kecerdasan dan kecerdikannya di dalam mengungkapkan kalimat yang halus dan lembut.”Mula-mula Yusuf menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa dia akan mentakwilkan mimpi mereka. Karena Tuhannya telah mengajarinya ilmu. Namun dengan kepiawaiannya Yusuf mulai menggiring pembicaraan untuk mengenalkan ajaran tauhid yang diyakininya. Setelah seruannya selesai, barulah ia menjelaskan takwil mimpi yang diminta kedua temannya itu.Sayyid Qutb kembali berkomentar, “Ini merupakan cara masuk yang halus…selangkah demi selangkah…penuh kehati-hatian dan lemah lembut…Kemudian ditanamkan ke dalam hati mereka lebih banyak dan lebih banyak lagi. Dan dijelaskanlah kepada mereka akidahnya dengan sejelas-jelasnya, Disingkapkannya kerusakan akidah mereka dan kaum mereka, serta keburukan realitas kehidupan yang mereka jalani…”Kisah Yusuf di atas mengajarkan kepada para da’i, bahwa dalam kondisi apa pun dakwah harus tetap dijalankan. Tak kenal henti. Ayat-ayat di atas mengisyaratkan pula bahwa para da’i harus memiliki visi yang jelas dalam dakwahnya; memiliki target dan memahami prioritas dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan para mad’u.Ditegaskan di dalam kisah ini bahwa prioritas dakwah adalah seruan kepada tauhid. Kisah Yusuf mengajarkan kepada para da’i untuk tidak terjebak atau membatasi diri pada hal-hal populis dalam seruan dakwahnya, sementara lupa pada misi utama yang diembannya.Satu hal lagi yang diajarkan dalam ayat-ayat ini, bahwa upaya-upaya untuk keluar dari kesempitan harus terus dilakukan. Yusuf melakukan hal itu dengan meminta kepada temannya untuk menyampaikan hal dirinya kepada Raja Mesir. Hal ini diharapkan dapat menjadi jalan kebebasannya.“Dan Yusuf Berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: ‘Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.’ Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf, 12: 42).Kelima, pelajaran tentang pentingnya para da’i memiliki keunggulan ilmu.Keunggulan ilmu, mutlak dibutuhkan oleh para da’i. Dengan keunggulan itu mereka dapat memberi dan menawarkan solusi kepada umat. Begitulah kisah Yusuf mengajarkan kepada kita. Saat Raja dibingungkan oleh mimpinya yang aneh Yusuf kemudian mampu menjelaskannya. Ia dapat memprediksi masalah-masalah yang akan menimpa masyarakat dan sekaligus mampu memberikan solusinya (lihat: ayat 43 – 49).Ayat-ayat ini harus menjadi renungan bagi para da’i masa kini. Sudahkah mereka mampu memberi dan menawarkan solusi pada masyarakat?Harus difahami bahwa pekerjaan da’i hendaknya tidak hanya terbatas pada urusan perbaikan akidah dan ibadah. Kontribusi mereka hendaknya tidak terbatas pada urusan moral semata. Di dalam kisah ini Allah menyampaikan pesan, bahwa seorang da’i pun harus mampu berbicara tentang ‘masalah dunia’ yang ada dalam realita masyarakat.Oleh karena itu jama’ah dakwah hari ini, harus mampu menghimpun bibit unggul, menyiapkan iron stock, sebagai upaya turut serta dalam memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.Keenam, pelajaran tentang perlunya melakukan upaya rehabilitasi citra dakwah.Ayat 50 – 53 surah ini menginformasikan bagaimana upaya Yusuf merahabilitasi nama baiknya. Ia telah digosipkan melakukan rayuan kepada majikannya untuk berbuat serong sehingga ia dipenjara. Saat Raja memanggilnya menghadap, Yusuf menolak, ia meminta terlebih dahulu agar Raja melakukan penyelidikan terhadap kasus yang dituduhkan kepadanya. Dengan upayanya itu, tersingkaplah kebenaran. Nama baiknya kembali pulih. Wanita penggoda Yusuf mengakui kesalahannya.Sikap Yusuf seperti itu dipuji oleh Rasaulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena hal itu menunjukkan keutamaan dan kesabaran Yusuf. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَوْ كُنْتُ أَنَا لأَسْرَعْتُ الإِجَابَةَ, وَمَا ابْتَغَيْتُ العُذْرَ - رواه احمد“Jika yang dipenjara itu aku, niscaya aku akan bergegas memenuhi ajakan utusan itu dan tidak akan meminta alasan.” (HR. Ahmad).[3]Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini adalah perlunya para da’i mengupayakan rehabilitasi atas citra buruk yang disematkan musuh-musuh kepada dirinya dan dakwah. Mereka harus berupaya menutup celah-celah yang mungkin dimanfaatkan oleh para pendengki di kemudian hari.Citra yang baik sangat dibutuhkan dalam dakwah. Karena ia dapat melahirkan kepercayaan dan dukungan.Ketujuh, pelajaran tentang kesiapan para da’i berkontribusi dan memikul tanggung jawab kenegaraan.Saat Raja meminta Yusuf untuk membantu pemerintahannya, Yusuf menawarkan diri untuk mengisi jabatan bendaharawan negara. Hal ini disebutkan dalam ayat 54 – 55,“Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku’. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami’.Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan’.Sayyid Qutb menjelaskan bahwa Yusuf hanya meminta jabatan yang diyakininya dapat mengatasi krisis di masa depan. Jabatan yang diyakininya akan melindungi orang-orang dari kematian, melindungi negara dari kehancuran dan kelaparan.Yusuf tidak meminta kedudukan demi kepentingan diri sendiri, sesungguhnya tugas mencukupi kebutuhan makanan suatu bangsa yang dilanda kelaparan selama tujuh tahun berturut-turut, tidak seorang pun mengatakannya sebagai keberuntungan. Sesungguhnya tugas ini merupakan beban yang dihindari oleh setiap orang.[4]Point ketujuh ini memperkuat apa yang sudah dijelaskan sebelumnya pada point kelima, bahwa para da’i harus memiliki keunggulan ilmu, dengan begitu ia akan mampu memberikan kontribusi dan siap memikul tanggung jawab (qudratu ‘ala tahammul) demi kemaslahatan masyarakat.Ayat ini mengisyaratkan sekali lagi kepada para da’i, hendaknya mereka mempersiapkan diri dan tidak segan menjadi pengelola negeri. Mengemban tugas negara untuk memberikan kebaikan kepada masyarakat secara luas, tanpa melihat latar belakang mereka, apa pun suku, agama, dan ras mereka. Karena tugas kita adalah beramal saleh, menebarkan seruan Islam, dan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Allah tidak menuntut kita untuk berhasil secara total mengislamkan masyarakat seluruhnya, walaupun itu harus kita upayakan dengan keras. Urusan hidayah adalah urusan Allah semata.Itulah yang dilakukan Yusuf di negeri Mesir. Ia berkontribusi, beramal, dan berusaha menyelamatkan masyarakat dari kelaparan; menyelamatkan negara dari kehancuran. Agama raja dan masyarakatnya yang jauh dari tauhid, tidak menghalanginya untuk menebarkan kebaikan. Tentu saja dengan kekuasaannya, Yusuf terus berusaha menyeru masyarakatnya kepada tauhid, tetapi sekali lagi, urusan hidayah adalah urusan Allah. Al-Qur’an bahkan menyebutkan bahwa Yusuf ‘gagal’ menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat Islam secara menyeluruh.Allah mengungkapkan hal ini dengan firman-Nya,“Dan sesungguhnya Telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: ‘Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya.’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu.” (QS. Mu’min, 40: 34)Ini adalah kalimat yang disampaikan anak paman Fir’aun yang beriman kepada Nabi Musa. Ia menyatakan ini untuk mengingatkan Fir’aun tentang ajaran tauhid yang pernah diserukan di negeri Mesir dahulu kala.[5]Jadi, Yusuf telah mengajak mereka beriman dan memberikan bukti-bukti kerasulannya yaitu ajaran-ajaran tentang iman kepada Allah dan berbuat baik, serta mu’jizat-mu’jizat yang diberikan Allah kepadanya. Akan tetapi mereka tetap tidak mau percaya kepadanya. Mereka hanya mematuhinya sebagai seorang menteri atau pembesar negara.[6]Kenyataan seperti ini menjadi penegasan kepada para da’i bahwa mereka berdakwah semata-mata karena Allah. Mereka berkontribusi dan berbuat kebaikan kepada negara semata-mata karena ibadah kepada-Nya. Jihad siyasi yang dilakukan saat ini adalah sebuah ikhtiar agar mereka mampu beramal lebih banyak dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamin.Kedelapan, pelajaran tentang keharusan berbuat baik dan memaafkan kesalahan kaum pendengki.Ayat 58 – 101 surah ini mengisahkan episode terakhir kisah Yusuf. Bagaimana Yusuf setelah diberikan kedudukan yang mulia mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Bahkan ia tidak hanya memberikan manfaat kepada rakyat Mesir saja, akan tetapi meluas sampai ke negeri-negeri di sekitarnya.Disini diceritakan bahwa saudara-saudara Yusuf dari negeri tetangga datang memohon pertolongan. Disinilah Yusuf diuji kembali kesabarannya. Apakah ia tetap sabar atau melampiaskan kemarahannya atas perilaku zalim saudara-saudaranya itu sebelumnya?Yusuf ternyata memilih untuk bersabar, berbuat baik, dan memaafkan saudara-saudaranya itu.Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”. (QS. Yusuf, 12: 92).Begitulah seharusnya seorang mu’min. Begitulah seharusnya para pengemban dakwah bersikap. Kelak ketika mereka diberikan kemuliaan oleh Allah, memiliki kekuasaan dan kehormatan, ia mampu tetap berbuat baik dan memaafkan orang-orang yang pernah mendengki dan mencelakakannya.Itu pula yang dilakukan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam saat melakukan fathu Makkah. Beliau berseru kepada orang-orang Quraisy, “Wahai orang-orang Quraisy, menurut kalian, bagaimana tindakanku terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Kebaikan. Saudara yang mulia. Keponakan yang mulia.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah kalian. Sekarang kalian adalah orang-orang yang merdeka.”[7]Terakhir, marilah kita renungkan do’a yang dipanjatkan Yusuf kepada Tuhannya,“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf, 12: 101)Demikianlah diantara mutiara-mutiara hikmah yang dapat digali dari kisah yang terbaik ini. Semoga Allah mencurahkan hidayah dan bimbingan kepada kita semua dalam mengarungi jalan dakwah. Amin Ya Rabbal ‘Alamin…Daftar Bacaan- Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, Gema Insani Press.- Terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid VI, Sayyid Qutb, Gema Insani Press.- Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, Kementerian Agama RI.- Fikih Sirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Hikmah.- Fikih Harakah, Jamal Sulthon, Cahaya Press.[1] Lihat terjemah Fi Zhilalil Qur’an, Gema Insani Press, jilid 6 hal. 301 – 303.[2] Lihat: Fikih Harakah, Jamal Sulthon, Hal. 91 – 93, Cahaya Press.[3] Lihat: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Gema Insani Press, hal. 862[4] Lihat: Terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid VI, Gema Insani Press, hal. 366-367[5] Para ulama berbeda pendapat tentang nama anak paman Fir’aun ini. Al-Khazin dan An-Nasafi menyebutnya bernama Sam’an atau Habib, sementara ada yang menyebutnya bernama Kharbil atau Hazbil. (lihat: Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 530).[6] Lihat: Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 536.[7] Lihat: Fikih Sirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Hikmah, hal. 477.Sumber: http://www.al-intima.comIkuti berita terkini di handphone anda di m.pkstaktakan.org PKSTaktakan.org - Sayyid Qutb menyatakan dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an , bahwa satu-satunya surah yang Allah turunkan kepada Rasulullah... Baca selengkapnya »
Bolehkah Mengamalkan Hadits-Hadits Dhaif? Oleh: Farid Nu’man HasanPertanyaan:Assalammu’alaikumUstadz, bagaimana hukumnya apabila kita mengamalkan hadits-hadist dhaif? Jazakallah (Ayu_ NP)Jawaban:Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa barakatuh.Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa man waalah, wa ba’d:Hadits-hadits dhaif (lemah), yang tidak bisa dipastikan asalnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para ulama sepakat tidak boleh dipakai dalam perkara aqidah dan hukum agama. Ada pun penggunaan hadits dhaif untuk perkara menggalakan dan merangsang manusia untuk melaksanakan fadhailul a’mal (amal-amal utama), akhlaq, kelembutan hati, dan semisalnya, maka para ulama berbeda pendapat.Imam An Nawawi mengklaim bahwa para ulama telah sepakat (konsensus) bolehnya menggunakan hadits-hadits dhaif untuk perkara fadhailul a’mal tersebut. Beliau mengatakan:وقد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمالPara ulama telah sepakat bahwa bolehnya beramal dengan hadits-hadits dhaif dalam masalah fadhailul a’mal.. (Muqadimah Al Arbain An Nawawiyah)Namun, kenyataannya hal ini termasuk khilafiyah di antara para ulama Islam. Hanya saja memang, jumhur (mayoritas) ulama membolehkan menggunakan hadits dhaif hanya untuk tema-tema fadhailul a’mal, targhib wat tarhib, dan hal-hal semisal demi mengalakan amal shalih dan kelembutan hati dan akhlak. Tetapi pembolehan ini pun mereka memberikan syarat, yakni:1. Tidak terlalu dhaif, tidak sampai perawinya tertuduh sebagai pendusta dan pemalsu hadits.2. Tidak bertentangan dengan tabiat umum agama Islam.3. Jangan menyandarkan atau memastikan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mengamalkannya.Mereka yang membolehkan di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Al Hakim, Imam Yahya Al Qaththan, Imam Abdurrahman bin Al Mahdi, Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam An Nawawi, Imam As Suyuthi, Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, dan lainnya.Sedangkan pihak yang menolak adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Nashiruddin Al Albani dan lainnya dari kalangan hambaliyah kontemporer, juga yang nampak dari pandangan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah. Bagi mereka, selama hadits shahih masih ada, maka cukuplah bersandar dengannya, baik dalam urusan aqidah, syariah, fadhailul a’mal, akhlak, dan semisalnya. Sebab, menyibukkan diri dengan hadits dhaif, akan membuat terlupakannya hadits-hadits shahih. Menggunakan hadits dhaif, sama juga memasukkan ke dalam Islam sesuatu yang bukan bagian dari Islam. Tidak menggunakan hadits shahih, sama juga menghapuskan dari Islam sesuatu yang sebenarnya merupakan bagian dari Islam. Inilah bahayanya.Berikut ini saya sampaikan fatwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah dalam situsnya tentang menggunakan hadits dhaif untuk fadha’ilul a’mal.Pertanyaan: Bagaimana pandangan syara’ atas para dai, penasihat, khathib, dan ulama yang banyak menyampaikan hadits-hadits dhaif, dan orang bodoh dari kalangan penuntut ilmu pemula yang tidak memahami kelemahannya, dan tidak tahu kesungguhan para ulama hadits. Jika mereka diingkari, mereka menjawab; “hadits dhaif boleh diamalkan untuk Fadhaiul A’mal, juga dalam pelajaran, dan targhib (kabar gembira) dan tarhib (ancaman).Jawaban: (Fatwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah)Bismillah, wal hamdulillah, washshalatu wassalam ‘ala rasulillah, wa ba’du:“Sebagian ulama berpendapat bahwa dibolehkannya menyampaikan hadits-hadits dhaif dalam urusan nasihat dan bimbingan, dan dari apa-apa yang disitilahkan dengan fadhailul a’mal. Sampai-sampai banyak yang mengklaim bahwa ulama telah sepakat terhadap pendapat ini.Tidak ragu lagi, ini adalah salah besar. Sejumlah besar para ulama muhaqqiq (peneliti) berpendapat bahwa tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul a’mal dan lainnya. Ini adalah pendapat Imam Bukhari dan dikuatkan oleh Syaikh Al Albani pada masa kita sekarang.Lagi pula, pihak yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif untuk Fadhail juga memberikan syarat dengan syarat yang begitu penting sampai-sampai tidak mungkin, sehingga sama saja itu sebagai hadits shahih. Syarat yang mereka keluarkan adalah: hadits tersebut kedhaifannya ringan, dan kandungannya memiliki dasar yang kuat yang telah ada pada hadits lain yang tidak dhaif, dan hendaknya si penasehat menjelaskan kepada manusia bahwa hadits tersebut adalah dhaif. Demikian.Ulama yang luas ilmu-ilmu syariat selamanya tidak akan pernah berhujjah dengan hadits-hadits dhaif, karena hadits-hadits shahih begitu banyak dan mencukupi. Namun, orang-orang yang sering menggunakan hadits dhaif, mereka hanyalah orang-orang yang membuat mudah populernya hadits-hadits dhaif, lantaran sedikitnya pergaulan mereka terhadap hadits dan ilmu-ilmunya.”(Dalam Fatwanya yang lain Syaikh Al Qaradhawi mengatakan):“Banyak amal yang disandarkan oleh mereka kepada apa-apa yang telah disiarkan oleh orang yang menganggap hadits dhaif itu boleh diriwayatkan dalam fadhailul amal, kisah, targhib, tarhib, dan semisalnya.Kami (Syaikh Al Qaradhawi) akan memberikan sejumlah peringatan sebagai berikut:Pertama. Pendapat ini tidaklah disepakati, di sana terdapat sejumlah besar para imam mu’tabar yang menolak menggunakan hadits dhaif dalam semua bidang, sama saja baik fadhailul a’mal dan lainnya.Itu adalah pendapat Imam Yahya bin Ma’in, dan segolongan para imam, dan juga zahirnya pendapat Imam Al Bukhari; orang yang telah meneliti dengan cermat dan detil terhada syarat diterimanya hadits. Juga Imam Muslim yang dalam mukadimah Shahihnya telah menilai buruk terhadap para periwayat hadits dhaif dan munkar, juga terhadap orang yang meninggalkan khabar yang shahih. Ini juga kecenderungan pendapat Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi pemimpin madzhab Malikiyah dizamannya, juga Imam Abu Syamah pemimpin madzhab Syafi’iyah pada zamannya, dan pendapat Imam Ibnu Hazm, dan selainnya.Kedua. Jika telah ada dalam hadits shahih dan hasan yang memuat makna dan maksud pelajaran dan peringatan, maka tidak ada artinya bergantung dengan hadits lemah lagi lembek. Allah Ta’ala telah mencukupkan dengan baik dibanding yang jelek, dan jarang sekali makna agama, akhlak, dan taujih, yang tidak ditemukan dalam hadits shahih dan hasan, betapa itu sudah memadai. Tetapi lemahnya keinginan, dan mengambil segala apa saja yang datang kepadanya tanpa mengkaji dan muraja’ah, membuat begitu mudahnya tersebarnya hadits dhaif secara mutlak.Ketiga. Sesungguhnya hadits dhaif tidak boleh disandarkan kepad Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan bentuk kata jazm (pemastian). Disebutkan dalam kitab At Taqrib dan Syarhnya: “Jika anda hendak meriwayatkan hadits dhaif tanpa isnad, maka jangan katakan: Qaala Rasulullah kadza (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda begini).’ Atau kata lainnya yang semisal pemastian. Tetapi katakanlah: ruwiya ‘anhu kadza (diriwayatkan darinya begini), atau disampaikan kepada kami darinya begini, atau telah sampai, atau telah dating, atau telah dinukil darinya, dan yang semisalnya dari bentk kata tamridh (bentuk kata yang menunjukan adanya cacat), seperti rawaa ba’dhuhum (sebagian mereka meriwayatkan). Maka, apa yang menjadi kebiasaan sebagian khatib, juru nasihat, ketika menyampaikan hadits dhaif dengan ucapan: Qaala Rasulullah (Rasulullah telah bersabda), adalah pekara yang tidak dapat diterima.Keempat. Ulama yang membolehkan menggunakan hadits dhaif dalam urusan targhib dan tarhib tidaklah membuka pintu bagi semua yang dhaif. Mereka memberikan syarat untuk itu, yakni ada tiga syarat:1. Kedhaifannya tidak terlalu.2. Hadits tersebut masih masuk ke dalam prinsip dasar syariat yang dapat diamalkan melalui Al Quran dan Sunah yang shahih.3. Ketika mengamalkannya tidak memastikan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, justru hendaknya berhati-hati.Dari sini telah jelas, bahwa tak satu pun ulama membolehkan menggunakan hadits dhaif dengan pembolehan tanpa ikatan dan syarat. Bahkan mereka memberikan tiga syarat sebagaimana yang telah disebutkan.Sebagai tambahan dari syarat asasi ini, yaitu hendaknya hal itu pada fadhailul a’mal saja tidak berakibat pada hukum syariat. Dalam pandangan saya, hendaknya syarat ini ditambah dua syarat lagi, yakni:Isinya tidak mengandung hal-hal yang bombastis dan ditolak oleh akal, syariat, dan bahasa. Para imam hadits telah menyebutkan bahwa hadits palsu dapat diketahui melalui qarinah (petunjuk) pada perawinya dan apa yang diriwayatkannya.Tidak bertentangan dengan nash syar’i lain yang lebih kuat darinya.Wallahu A’lamSumber: http://www.al-intima.com Oleh: Farid Nu’man Hasan Pertanyaan: Assalammu’alaikum Ustadz, bagaimana hukumnya apabila kita mengamalkan hadits-hadist dhaif? Jazakallah ... Baca selengkapnya »
Tiga Cerita Sejarah, Modal Mengukir Sejarah Kemenangan Oleh: Anis Matta, Lcpkstaktakan.org - Jika kita ingin mengukir cerita sejarah kita, cobalah berimanijinasi, menghayal. Hayalkan semua cerita yang akan kita wariskan kepada anak-anak kita, cucu-cucu kita, kepada orang yang datang sesudah kita. Mungkinkah cerita itu suatu waktu akan menjadi tema khutbah generasi yang akan datang? Mungkinkah cerita itu akan menjadi catatan sejarah yang akan dibaca oleh puluhan tahun generasi yang akan datang? Itulah cerita yang harus kita buat, cerita yang akan menjadi kenangan, dan sekaligus menjadi amal yang akan mengantarkan kita masuk surga.Untuk itu, mari kita kenang tiga cerita sejarah ini:1. Cerita Ain JalutJengis Khan telah membunuh 3 juta orang dalam kurun waktu sekitar 20 tahun. Dia bukan hanya membunuh 3 juta orang, tapi juga membumi-hanguskan tumbuhan dan binatang. Salah satu strategi perangnya adalah mengirimkan ketakutan kepada musuhnya sebelum ia sampai kepada musuhnya.Karena itulah dia membasmi semua yang ditemui di depannya. Termasuk di antaranya adalah membakar seluruh perpustakaan yang ada di Baghdag, Jengis Khan akhirnya menaklukkan Baghdad. Bayangkan bagaimana pada suatu hari ketika Jengis Khan ada di baghdad, seorang wanita Tartar mengumpulkan 100 laki-laki muslim dan berkata, “Hai kalian laki-laki! Tundukkan kepala kalian!” kemudian perempuan menyembelih satu persatu laki-laki itu, dan tidak satupun yang melawan. Tahukah kalian berapa orang yang dibunuh Jengis Khan di Bagdhad? 80 ribu orang! Sampai-sampai muncul mitos di dunia Islam, khususnya di Syiria, Damaskus yang mengatakan “Kalau pasukan Tartar itu datang jangan dilawan, biarkan dia mengambil apa yang dia mau.”Di sebuah tempat yang dilalui oleh Jengis Khan, ada sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Khawarizim, kerajaan ini juga dihancurkan oleh Jengis Khan, seluruh raja-rajanya dibantai. Tapi ada seorang anak yang merupakan keponakan raja yang selamat dari pembantaian itu, dibawa lari oleh pembantu bersama putri raja, saudara sepupu. Kemudian di tengah perjalanan diculik, dibawa ke India. Dalam perjalanan diculik lagi dan dijual sebagai budak, terus-menerus dijual sebagai budak dan berpindah-pindah tempat hingga akhirnya dia sampai ke Damaskus. Begitu sampai ke Damaskus dia diterima oleh seorang pengusaha dan pengusaha ini mempunyai majelis ilmu. Pengajar di majelis ilmu itu adalah seorang ulama besar dalam bidang fiqh. Setelah ia mendapatkan pendidikan yang baik, budak ini kemudian disisipkan masuk ke Mesir, lalu dia menjadi tentara mesir. lalu kemudian di tengah jalan, rajanya meninggal dan pengganti rajanya ini adalah seorang anak kecil yang berumur 7 tahun. Lalu akhirnya yang memimpin kerajaan itu adalah seorang perempuan yang bernama Syajaratu Dur. Tapi kerajaan mengalami bencana, sedang Mesir adalah kota terakhir yang akan diambil-alih oleh Tartar. Dalam kacau seperti itulah akhirnya terjadi pembunuhan di istana, dan Syajaratu Dur dibunuh. Kemudian muncullah lelaki budak ini memimpin Mesir, periode inilah yang disebut sebagai zaman budak-budak. Siapa nama budak ini? Namanya Al-Muzaffar Qutuz, laki-laki inilah yang kemudian menyiapkan Mesir untuk melawan dan menghentikan seluruh ekspansi Tartar. Penghentian ekspansi Tartar itu terjadi dalam sebuah pertempuran besar yang bernama Ain Jalut.Pertempuran itulah yang selanjutnya yang mengubah sejarah cucu-cucu Jengis Khan, karena sejak kekalahan itu cucu-cucu Jengis Khan akhirnya masuk Islam dan mereka berbalik menyebarkan Islam ke Asia Tengah sampai ke Asia Selatan. Sisa-sisa cucu Jengis Khan yang paling terakhir yang mendirikan kerajaan Mughal di India yang kemudian menciptakan Taj Mahal, kerajaan yang berumur 200 tahun.Sebuah perlawanan yang menghentikan penjajahan, kemudian membalikkan penjajah itu menjadi muslim dan kembali menjadi pembangkit Islam. Itulah peristiwa Ain Jalut. Sejarah itu catatan tentang pembalikan situasi.2. Cerita di HittinPerang salib telah berlangsung selama 200 tahun dan terjadi dalam 8 gelombang. Selama 7 gelombang kaum muslimin menderita kekalahan, sampai datang Shalahuddin Al-Ayyubi.3. Cerita Pembebasan KonstantinopelSeorang anak muda diangkat menjadi khalifah pada umur 16 tahun dan para senior di kerajaan itu meremehkan anak muda ini. Apa yang bisa dilakukan anak muda ini? Para senior dan sesepuh di kerajaan tidak percaya dengan kemampuan anak muda yang berumur 16 tahun. Ketika terjadi guncangan, dia gagal. Ia sempat mengembalikan kerajaan kepada ayahnya, tapi kemudian diberikan kembali. Akhirnya dia mulai berpikir, ada satu cara untuk membuat para senior di kerajaan ini bisa percaya padanya. Lakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan mereka. Seorang penyair Arab berkata, “Walaupun aku adalah generasi yang datang paling ujung, aku akan melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh para pendahulu.” Apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang terdahulu? Membebaskan Konstantinopel. Sudah 700 tahun Rasulullah memberikan janji bahwa itu akan dibebaskan, dan sejak khalifah Utsman kaum muslimin sudah berusaha untuk sampai ke sana, tapi tidak satu pun yang pernah sampai. Sampai datang anak muda ini yang ingin membuat cerita sejarah, cerita yang akan dikenang. Anak muda itu adalah penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih.Saudara sekalian, kita harus menjadi penghayal besar yang ingin menulis cerita sejarah kehidupan. Jangan pernah membiarkan orang lain menulis cerita kehidupan kita. Jangan pernah membiarkan orang lain melakukan sesuatu yang membuat mereka menentukan masa depan kita. Tidak boleh ada orang yang menentukan masa depan kita! Kitalah yang bertanggung jawab untuk menulis cerita dan masa depan kita sendiri. Cobalah bayangkan bahwa anak dan cucu kita membaca sejarah perjuangan politik Islam di Indonesia dan menemukan nama kita dalam sejarah itu. Bisakah kita membayangkan sebelum kita wafat, sebelum kita mengucapkan dua kalimat syahadat yang terakhir, kita hanya ingin menyampaikan doa yang sederhana kepada Allah “Ya Allah, jika di tahun 2014 itu adalah amal besar yang telah kulakukan, sepenuhnya ikhlas hanya untuk-Mu, maka jadikanlah amal itu menjadi pengantar aku masuk ke surga.” Bisakah kita membuat cerita seperti itu? Bisa!!!!Sumber: www.dakwatuna.com Oleh: Anis Matta, Lc pkstaktakan.org - Jika kita ingin mengukir cerita sejarah kita, cobalah berimanijinasi, menghayal. Hayalkan semua ceri... Baca selengkapnya »
Antara Ghibah dan Dusta pkstaktakan.org - Ghibah dan dusta merupakan dua hal, yang hampir-hampir menjadi fenomena dalam lingkup kehidupan manusia. Seringkali, di manapun manusia berkumpul dan berbicara, tidak luput dari dua hal ini, atau minimal dengan salah satunya. Jika kita perhatikan di kantor, di pasar, di rumah, di kantin atau di manapun juga, baik laki-laki maupun perempuan, senantiasa minimal ghibah (baca; membicarakan orang lain) menjadi tema sentral pembicaraan mereka. Padahal, Allah SWT memerintahkan kepada setiap insan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan baik. Dalam salah satu ayatnya Allah berfirman:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا* يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُفَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا*Oleh: Rikza Maulan, Lc. MAg. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (baik), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.Ayat di atas menggambarkan kepada kita, adanya korelasi yang kuat antara keimanan (baca; ketakwaan) dengan perkataan yang baik. Seseorang yang memiliki keimanan yang baik, insya Allah secara otomatis akan berkomunikasi dan bertutur kata yang baik. Sementara ghibah apalagi dusta termasuk dalam kategori perkataan yang tidak baik. Bahkan dusta masuk dalam kategori dosa-dosa besar.Antara Ghibah Dan DustaDari segi bahasa, ghibah berasal dari kata bahasa Arab ‘Ghaba’, yang berarti ghaib (baca; tidak tampak), atau tidak terlihat:الغيبة لغة مشتق من فعل غاب أو الغيب، وهو كل ما غاب عن الإنسانOleh karena itulah, dari segi bahasa, ghibah berarti membicarakan orang lain yang ghaib (baca; yang tidak hadir) di antara orang yang sedang membicarakannya. Baik pembicaraan tersebut mengenai hal-hal yang positif darinya, ataupun yang bersifat negatif.Adapun dari segi istilah, ghibah adalah pembicaraan yang dilakukan seorang muslim mengenai saudaranya sesama muslim lainnya dalam hal-hal yang bersifat keburukan dan kejelekannya, atau hal-hal yang tidak disukainya.Sedangkan dusta, adalah kita membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang sesungguhnya sesuatu itu tidak terdapat dalam diri saudara kita tersebut. Sehingga dari sini, perbedaan antara ghibah dengan dusta terletak pada obyek pembicaraan yang kita lakukan. Dalam ghibah, yang kita bicarakan itu memang benar-benar ada dan melekat pada diri orang yang menjadi obyek pembicaraan kita. Sedangkan dalam dusta, sesuatu yang kita bicarakan tersebut, ternyata tidak terdapat pada diri seseorang yang kita bicarakan. Hal ini secara jelas pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ - رواه مسلمDari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian, apakah itu ghibah? Para sahabat menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia sukai.Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku? Rasulullah SAW menjawab, jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya. (HR. Muslim)Dusta dan Ghibah Dalam pandangan IslamBaik ghibah maupun dusta, sesungguhnya merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW:Mengenai dusta, Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 22: 30):فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ*Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.’Bahkan dusta ini masuk dalam kategori dosa-dosa besar yang senantiasa harus dijauhi oleh setiap mukmin. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW pernah mengatakan:عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ - رواه البخاري“Dari Abu Bakrah RA, Rasulullah SAW bersabda: ‘Maukah kalian aku beritahu tentang dosa-dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar? Kami menjawab, tentu wahai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Yaitu, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.’ Beliau berdiri, kemudian duduk, lalu mengatakan lagi, ‘dan perkataan dusta serta persaksian dusta… perkataan dusta dan persaksian dusta….’ Beliau terus mengucapkan itu, hingga aku katakan bahwa beliau tidak berhenti mengucapkannya.” (HR. Bukhari)Ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya yang membicarakan masalah ghibah masih cukup banyak. Namun dari kedua dalil di atas, kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa dusta merupakan perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW secara langsung mengkategorikannya pada perbuatan dosa-dosa besar yang paling besar.Sedangkan mengenai ghibah, sebagaimana dusta, banyak ayat-ayat maupun hadits-hadits yang melarangnya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam (QS. 49: 12):يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ*‘Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةَ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ - رواه أبو داودDari Said bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya riba yang paling bahaya adalah berpanjang kalam dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim dengan (cara) yang tidak benar. (HR. Abu Daud)Kedua dalil di atas telah cukup menunjukkan kepada kita mengenai bahaya ghibah. Dalam ayat (QS. 49: 12) Allah mengumpamakan ghibah seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri yang telah meninggal. Sedangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW mengumpamakannya dengan riba yang paling berat dan berbahaya. Oleh karena itulah, bagi setiap muslim harus berusaha secara maksimal untuk meninggalkan kedua penyakit lisan yang ternyata sangat berbahaya ini. Kita dapat membayangkan, sekiranya setiap hari kita diumpamakan seperti menyantap makanan yang terbuat dari daging saudara kita sendiri? Selain itu kita juga diumpakan selalu berinteraksi dengan riba yang paling berbahaya dan paling besar dosanya di sisi Allah SWT? Na’udzu billah min dzalik.Kondisi Diperbolehkannya Ghibah dan DustaMeskipun demikian, memang ada beberapa kondisi tertentu di mana kita diperbolehkan untuk dusta dan ghibah.1. Kondisi diperbolehkannya dustaDalam hadits dijelaskan oleh Rasulullah SAW mengenai beberapa keadaan di mana seseorang dihalalkan untuk berdusta, berdasarkan hadits berikut:عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ - رواه الترمذى“Dari Asma’ binti Yazid RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dusta tidak diperkenankan melainkan dalam tiga hal; seorang suami berbicara kepada istrinya agar istrinya (lebih mencintainya), dusta dalam peperangan dan dusta untuk mendamaikan di antara manusia (yang sedang bertikai)” (HR. Turmudzi)2. Kondisi diperbolehkannya ghibahDr. Sayid Muhammad Nuh dalam Afat Ala al-Thariq (1996: III/ 52) mengungkapkan ada enam hal, di mana seseorang diperbolehkan untuk ghibah, yaitu:1. Tadzalum.Yaitu orang yang teraniaya, kemudian mengadukan derita yang diterimanya kepada hakim, ulama dan penguasa agar dapat mengatasi problematika yang sedang dialaminya. Dalam pengaduan tersebut tentu ia akan menceritakan keburukan orang yang menganiaya dirinya. Dan hal seperti ini diperbolehkan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:لاَ يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا*“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”2. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran & mengembalikan orang yang maksiat menjadi taat kepada Allah SWT, kepada orang yang dirasa mampu untuk melakukannya. Seperti ulama, ustadz atau psikolog. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. (HR. Muslim).Sementara meminta bantuan kepada orang yang lebih mampu, masuk dalam kategori merubah kemungkaran dengan lisan.3. Meminta fatwa.Seperti seseorang yang meminta fatwa kepada ulama dan ustadz, bahwa saudaraku misalnya menzhalimiku seperti ini, maka bagaimana hukumnya bagi diriku maupun bagi saudaraku tersebut.Dalam salah satu riwayat pernah digambarkan, bahwa Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan) mengadu kepada Rasulullah SAW dan mengatakan, wahai Rasulullah SAW, suamiku adalah seorang yang bakhil. Dia tidak memberikan padaku uang yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, kecuali yang aku ambil dari simpanannya dan dia tidak mengetahuinya. Apakah perbuatanku itu dosa? Rasulullah SAW menjawab, ambillah darinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (baca; ma’ruf)” (HR. Bukhari)4. Peringatan terhadap keburukan atau bahaya.Seperti ketika Fatimah binti Qais RA datang kepada Rasulullah SAW dan memberitahukan bahwa ada dua orang pemuda yang akan meminangnya, yaitu Muawiyah dan Abu Jahm. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Adapun Muawiyah, ia adalah seseorang yang sangat miskin, sedangkan Abu Jahm, adalah seseorang yang ringan tangan (suka memukul wanita).” (HR. Muslim)5. Terhadap orang yang menampakkan kefasikan & kemaksiatannya, seperti minum khamer, berzina, judi, mencuri, dan membunuh. Terhadap orang yang seperti ini kita boleh ghibah. Apalagi terhadap orang yang menampakkan permusuhannya kepada agama Islam dan kaum muslimin.6. Untuk pengenalan.Adakalanya seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu yang terkesan negatif, seperti para periwayat hadits ada yang dikenal dengan sebutan A’masy (si rabun), A’raj (pincang), Asham (tuli), A’ma (buta) dsb. Mereka semua sangat dikenal dengan nama tersebut. Jika disebut nama lain bahkan banyak perawi lainnya yang kurang mengenalnya. Meskipun demikian, tetap menggunakan nama aslinya adalah lebih baik. Bahkan jika dengan namanya tersebut dia telah dikenal, maka tidak boleh menggunakan julukan yang terkesan negatif.Cara Untuk Menghindari Dusta dan GhibahSudah menjadi sunnatullah bahwa setiap penyakit tentu ada obatnya. Demikian juga dengan penyakit hati dan lisan, seperti dusta dan ghibah. Allah memberikan berbagai jalan untuk manusia agar dapat mengobati dirinya dari penyakit-penyakit seperti ini, di antaranya adalah:1. Dengan meningkatkan rasa ‘muraqabatullah’ yaitu sebuah rasa di mana kita senantiasa tahu, bahwa Allah sangat mengetahui segala tindak tanduk yang kita lakukan, baik ketika seorang diri maupun di saat bersama-sama. Baik ketika orang yang kita bicarakan ada di antara kita ataupun tidak ada. Allah pasti mengetahuinya.2. Meningkatkan keyakinan kita bahwa setiap orang yang kita bicarakan, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya dari Allah SWT kelak. Dalam salah satu ayatnya, Allah berfirman (QS. 50: 18):مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ*Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.3. Menahan emosi dan mencegah amarah. Karena keduanya merupakan faktor yang dapat membawa seseorang pada ghibah dan dusta.4. Tabayun (baca; mengecek) terhadap informasi yang datang dari seseorang, sebelum membicarakannya pada orang lain. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 49: 6)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ*“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”5. Beramal & berusaha untuk dapat menciptakan suasana yang ‘Islami’, di lingkungan kerja, di rumah, di kantin dsb, dengan membuat kesepakatan dan ketauladanan untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain, apalagi berbohong. Di samping itu juga keharusan adanya teguran, kepada orang yang secara sengaja atau tidak dalam membicarakan orang lain.6. Jika kita merupakan orang yang menjadi obyek pembicaraan, kita pun harus menanggapinya dengan akhlak yang baik dan bijaksana. Kita mencek kembali, mengapa mereka membicarakan kita, siapa saksinya kemudian diselesaikan dengan baik.7. Himbauan secara khusus kepada orang-orang yang menjadi panutan, baik dalam kantornya, masyarakatnya atau di mana saja, untuk menjauhi hal ini (ghibah dan dusta), supaya mereka yang berada di bawahnya dapat mencontoh. Karena apabila para panutan ini memberikan keteladanan yang buruk, maka para bawahannya pun akan mengikutinya.8. Membiasakan diri untuk bertanya sesegera mungkin manakala melihat adanya fenomena seseorang yang berbuat sesuatu yang melanggar syariat, hingga kita tidak terjerumus pada keghibahan.9. Mengajak umat secara keseluruhan untuk menghindari diri dari penyakit ini, dengan cara tidak membicarakan orang lain, tidak mendengarkan jika ada orang yang membicarakan orang lain, memberikan teguran dan lain sebagainya.10. Mengingat-ingat kembali, tentang hukum dusta dan ghibah serta akibat yang akan ditimbulkan dari adanya hal seperti ini.PenutupKita yakin bahwa setiap insan pasti pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat. Dan kemaksiatan yang paling mudah menjerumuskan setiap insan adalah maksiat mata dan maksiat lisan. Dan di antara kemaksiatan lisan adalah dusta dan ghibah. Padahal kedua kemaksiatan ini (ghibah dan dusta) adalah termasuk dalam kategori dosa-dosa besar. Dusta, adalah dosa besar yang paling besar, yang disejajarkan dengan syirik dan durhaka pada orang tua. Sementara ghibah Allah umpamakan seperti memakan bangkai saudara kita sendiri yang telah mati. Atau seperti orang yang melakukan riba yang paling berat dan berbahaya. Jadi betapa besarnya dosa kita jika setiap hari kita ‘mengkonsumsi’ dusta dan ghibah?Oleh karena itulah, hendaknya kita memperbaharui taubat kita kepada Allah SWT serta berjanji untuk tidak terjerumus kembali pada ghibah & dusta, semampu kita. Apalagi jika kita merenungi bahwa salah satu sifat mukmin adalah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ - رواه البخاريDari Abdullah bin Amru RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang muslim adalah seseorang yang menjadikan muslim lainnya selamat (terjaga) dari lisan dan tangannya. Sedangkan muhajir adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. (HR. Bukhari)Wallahu A’lam Bis Shawab.Sumber: www.dakwatuna.com pkstaktakan.org - Ghibah dan dusta merupakan dua hal, yang hampir-hampir menjadi fenomena dalam lingkup kehidupan manusia. Seringkali, di m... Baca selengkapnya »
Makna Kearifan Talk Show "Narasi Kearifan, dari Tulisan ke Tindakan" oleh Ustadz Anis Matta di acara Islamic Book Fair (IBF) 2013 Istora Senayan Jakarta Talk Show "Narasi Kearifan, dari Tulisan ke Tindakan" oleh Ustadz Anis Matta di acara Islamic Book Fair (IBF) 2013 Istora Senayan ... Baca selengkapnya »
Khutbah Jum'at Ustadz Anis Matta Khutbah Jum'at Ustadz Anis Matta, di Masjid Al Muhajidin UNY, 8 Februari 2013 Khutbah Jum'at Ustadz Anis Matta, di Masjid Al Muhajidin UNY, 8 Februari 2013 Baca selengkapnya »
5 Syarat Meraih Kemenangan Oleh: K.H. Hilmi AminuddinPKS Taktakan - Ikhwan dan akhwat fillah saya ingin mengingatkan, bahwa untuk meraih kemenangan demi kemenangan, kita harus menjaga lima syarat untuk meraih kemenangan. Sebab kemenangan itu diberikan oleh Allah SWT. Wa man nashru illa min 'indillahi 'azizil hakim.Lima syarat untuk meraih kemenangan ini adalah:Pertama, kita harus mempunyai al-qiyam tastahiqun najah. Nilai-nilai yang membuat kita berhak meraih kemenangan (winning value).Kedua, harus mempunyai manhaj. Al-Manhaju yastahiqqun najah. Memiliki konsep yang membuat kita berhak meraih kemenangan (winning concept).Ketiga, an-nizham yastahiqqun najah atau winning system. Sistem, produk-produk regulasi, aturan-aturan, keputusan-keputusan, mekanisme dan prosedurnya membuat kita berhak meraih kemenangan.Keempat, al-jama'atu yastahiqqunnajah. Jama'ah kita harus menjadi jama’ah yang berhak mendapatkan kemenangan. Jangan sampai menjadi jama’ah yang musyattatah (berpecah belah); jangan sampai menjadi jama’ah seperti yang disebutkan oleh Allah ta'ala, tahsabuhum jami'a wa qulubuhum syatta, "Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah." Naudzu-billahi min dzalik. Sehingga la yastahiqqun najah, tidak berhak meraih kemenangan. Jangan sampai menjadi jama’ah yang tidak berpadu. Artinya kita harus mempunyai winning team. Tim yang berhak menerima kemenangan.Kelima, al-ghayatu tastahiqqun najah. Tujuan dan sasaran yang membuat kita berhak mendapatkan kemenangan (winning goal). Sebab kadang-kadang orang membuat target-target demikian ambisius, sehingga jauh panggang dari api untuk diraih. Biasanya karena ghurur, karena sombong, karena lupa diri, karena menganggap enteng. Lalu membuat target-target yang demikian besar, demikian ambisius, demikian bombastis, yang tidak sesuai dengan sunnah kauniyah dari tahapan perjuangannya.Jadi kalau disingkat untuk mencapai kemenangan itu diperlukan 5W: Winning Value, Winning Concept, Winning System, Winning Team, dan Winning Goal. Dari sisi manajemen saya harapkan kita dapat mengevaluasi kerja dan kinerja dakwah dari sisi 5W ini. Apakah nilai-nilai yang kita anut, penyikapan kepada nilai yang kita anut, atau istiqamatul mabda' (keistiqamahan pada prinsip) masih utuh? Kita masih istiqamah 'alal mabda' atau tidak? Sebab itu adalah merupakan winning value.Masihkah kita istiqamah dalam aqidah kita? Masihkah kita istiqamah dalam fikrah kita? Masihkah kita istiqamah dalam minhaj kita? Itu semua merupakan winning value. Silahkan kita evaluasi.Yang kedua winning concept. Sudah tentu konsep dasar adalah al-Qur'an dan sunnah. Manhaj 'amali-nya adalah manhaj jama’ah dakwah kita. Apakah kita konsisten terhadap dua konsep dasar dan konsep 'amali tadi? Itu juga harus kita lihat.Yang ketiga winning system-nya, apakah sistem organisasi kita pantas untuk meraih kemenangan. Ini harus kita nilai. Apakah sistem kita terlalu kegedean atau longgar sehingga ribet. Atau sistem kita terlalu sempit sehingga susah melangkah. Ini kita nilai. Apakah nizham yang kita miliki merupakan winning system!Yang keempat adalah winning team. Tim secara umum adalah jama’ah dakwah kita. Apakah jama'ah kita merupakan tim 'amal jama'i yang berhak meraih kemenangan. Yaitu tim amal jama'i yang konsisten, solid, dinamis. Tim amal jama'i yang istiqamatul mabda (istiqomah memegang prinsip), mataanatu tanzhim (soliditas struktur), hayawiyatul harakah (gerakan yang dinamis).Yang kelima adalah al-ghayah wal ahdaf tastahiqqun najah. Yaitu winning goal. Apakah sasaran, target-target yang kita tentukan itu walaupun sangat ideal, indah dibaca logis, realistis, terlalu besar atau tidak? Terlalu ambisius atau tidak?Mengoreksi tidaklah haram. Mengoreksi hasil disiplin nilai, konsep, sistem, dan tim merupakan keharusan. Sesuai dengan definisi istiqamah yang disebutkan oleh Sayyid Qutb rahimahullah, "Al-Istiqaamatu hiya al-i'tidaalu wa al-mudhiyyu 'ala al-manhaji duuna inhiraafin." Istiqamah adalah lurus, konsisten, i'tidal dan terus berjalan tanpa adanya penyimpangan-penyimpangan."Wa huwa fii haajatin ila al-yaqzhati ad-daa-imati." Dan istiqamah itu selalu menhajatkan, selalu membutuhkan kesiagaan yang kontinyu."Wa attadabburi addaa-imi wa attaharri addaa-imi li hududi atthariiqi wa dhabti al-infi'alaati al-basyariyati allati tamiilu al-ittijaaha qaliilan aw katsiiran."Merenung dan evaluasi secara terus menerus. Bahkan mewaspadai, meneliti akan batas-batas jalan, batas-batas syar'i, batas-batas kewajaran, batas-batas kemampuan, batas-batas peluang dalam perjalan dakwah kita, dan mengendalikan emosi-emosi kemanusiaan kita. Kadang-kadang ketika dirangsang oleh wawancara, emosi kita terangkat. Padahal wawancara banyak jebakan. Atau dirangsang oleh statemen-statemen orang lain yang berkobar, kita merasa ketinggalan, lalu kita ingin membuat statemen juga yang lebih berkobar lagi. Atau dirangsang oleh ejekan-ejekan. Apa sih musyarakah? Ikut pemerintah berhasil apa? Lalu kita merasa bersalah dengan musyarakah ini, dan seterusnya.Rangsangan-rangsangan untuk menyimpang itu demikian banyak. Awalnya disebabkan emosi yang tidak terkendali. Emosi itulah yang seringkali, kata Sayyid Qutb, menyimpangkan orientasi kita sedikit atau banyak. Ini harus dievaluasi dan diwaspadai. Jangan sampai oleh rangsangan-rangsangan eksternal bentuknya apa pun, tiba-tiba kita emosi. Akhirnya, kata Sayyid Qutb, ada mail. Artinya mulai menyimpang dari al-ittijah (orientasi kerja) kita. Orientasi kerja kita untuk meraih mardhatillah, orientasi kita untuk mengembangkan hasanat kita, orientasi kita untuk terus-menerus berbuat ihsan, tiba-tiba menyimpang. Orientasi kita sebagai da'i untuk selalu terus membangun komunikasi, untuk memelihara akses komunikasi dengan semua golongan umat, bangsa, dan kemanusiaan ini, tiba-tiba dirusak oleh rangsangan-rangsangan terhadap emosi kita. Na'udzubillahi min dzalik. Itu yang digambarkan oleh Sayyid Qutb rahimahullah, kemudian beliau mengatakan, "Wa min tsamma fa hiya syughlun daaimun fii kulli harakatin min harakaati al-hayaah."Usaha untuk menjaga istiqamah itu merupakan usaha yang penting dalam setiap gerakan dari gerak-gerak hidup kita.Ikhwan dan akhwat fillah, itu gambaran kita, bagaimana supaya kita menjadi harakah dakwah yang selalu berhasil, insya Allah bi'aunillah...Sumber: Majalah Al-Intima/Edisi No. 038 Oleh: K.H. Hilmi Aminuddin PKS Taktakan - Ikhwan dan akhwat fillah saya ingin mengingatkan, bahwa untuk meraih kemenangan demi kemenangan, ... Baca selengkapnya »