Tangkis Roket Hamas, Israel Habiskan Rp240 Miliar Pantas saja rakyat Gaza berpesta setelah gencatan senjata dengan Israel. Meski ada 162 warga Gaza yang tewas, namun beberapa roket Hamas berhasil menembus Kubah Besi antimisil milik Israel yang canggih dan mahal.Selama delapan hari perang udara itu, Kubah Besi Israel menghabiskan biaya antara US$25 juta sampai US$30 juta atau lebih dari Rp240 miliar. Pemerintah Israel sendiri mengakui, teknologi buatan Amerika Serikat ini memang mahal namun Israel berpendapat sepadan dengan kinerjanya."Jika Kubah Besi diperdagangkan di bursa saham (Tel Aviv) atau Nasdaq, harganya akan berlipat ganda beberapa kali," kta Menteri Pertahanan Sipil Israel, Avi Dichter, saat diwawancara Radio Israel.Dengan misil penyergap yang dipandu radar, lima Kubah Besi Israel berhasil merontokkan 421 dari 1.500 roket yang diluncurkan dari Jalur Gaza antara 14 November sampai gencatan terjadi pada Rabu 21 November lalu. Angka kesuksesan kinerjanya 90 persen karena tidak semua roket dari Gaza dilumpuhkan, hanya yang kira-kira menyasar kawasan berpopulasi.Dan selama delapan hari itu, hanya 5 orang korban jiwa di pihak Israel, meski ada puluhan yang terluka, menurut polisi Israel. Tiga orang tewas di pantai Ashdod ketika Kubah Besi di sana sedang tak berfungsi dengan baik.Meski terkesan besar biaya yang dikeluarkan, jika roket-roket Hamas itu berhasil mencapai sasaran di Tel Aviv, maka kerugian Israel bisa mencapai US$380 juta per hari atau 150% lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk Kubah Besi beroperasi selama delapan hari. Jika begini yang terjadi, Israel bisa saja melakukan agresi darat ke Jalur Gaza untuk menghindari kerugian lebih jauh.Mengingat vitalnya peran Kubah Besi ini, Amerika Serikat berencana untuk membantu lebih banyak. Presiden AS Barack Obama menjanjikan bantuan lebih lanjut. Israel menyatakan, butuh 13 baterai Kubah Besi untuk menjamin keamanan nasional. Harga satu unit sekitar US$50 juta atau Rp450 miliar.Roket-roket Gaza ini merupakan karya Iran bernama Fajr-5s dengan jangkauan 75 kilometer dan hulu ledak 175 kilogram, meski Hamas menyatakan mereka menggunakan varian Gaza yang disebut "Qassam M-75". Iran sendiri membantah menyuplai roket ke Gaza.Lalu bagaimana dengan kondisi Gaza? Selain korban 162 jiwa dan ratusan orang luka-luka, Gaza mengalami kerusakan fisik yang luar biasa. Seorang ekonom lokal, Omar Shaban, memperkirakan kerugian material mencapai US$250 juta atau lebih dari Rp2,4 triliun. Shaban berharap negeri yang bersimpati macam Qatar dan Turki mau membantu Gaza bangkit lagi.Sumber: viva.co.id Pantas saja rakyat Gaza berpesta setelah gencatan senjata dengan Israel. Meski ada 162 warga Gaza yang tewas, namun beberapa roket Hamas b... Baca selengkapnya »
Al-Istikhlaf Setelah membicarakan sifat Islam yang inklusif, sekarang saya ingin mengajak Anda mengelaborasi satu konsep penting lainnya, yaitu al-istikhlaf. Ini berkaitan erat dengan posisi dasar yang Allah letakkan pada manusia dalam eksistensinya di kehidupan dunia. Yaitu menjadi khalifatullah fil-ardh.Posisi khalifah adalah takdir kepemimpinan yang Allah berikan kepada manusia untuk mengelola kehidupan di muka bumi ini sesuai dengan ajaran Allah SWT. Untuk itu, Allah meletakkan berbagai potensi dan kemampuan yang dibutuhkan setiap manusia untuk mampu menjalankan kepemimpinannya. Ini yang disebut konsep At-Taskhir, yang akan saya bicarakan kemudian. Banyak pihak memahami posisi khalifah sebagai kepemimpinan politik, dalam suatu bangunan negara misalnya. Pemahaman ini tidak salah, namun tidak utuh. Pada dasarnya posisi kepemimpinan ini melekat pada diri manusia dalam dimensi ruang, waktu dan keadaan apa saja. Posisi dan peran ini bisa dijalankan manusia atas dirinya sendiri, dalam ruang keluarga, masyarakat dan tentu juga negara. Memang harus diakui, wacana paling dominan adalah posisi khalifah dalam ruang negara. Dan inilah wacana yang sering memunculkan perdebatan di kalangan umat Islam serta memunculkan kecemasan di kalangan luar umat Islam. Bahkan seringkali tanpa sadar sifat inklusivitas Islam jadi dipertentangkan dengan konsep kekhalifahan.Saudaraku, tahukah kita kapan seseorang itu bisa menjadi pemimpin dan penguasa (politik)? Yaitu ketika seseorang (atau sekelompok orang) mampu memenangkan ruang kompetisi yang disediakan oleh setiap mekanisme yang disepakati. Dalam hukum manusia, seseorang yang mampu mengendalikan sumberdaya secara maksimal, maka ia paling berpeluang memenangkan kompetisi kepemimpinan. Meski hukum Allah seringkali menunjukkan hal yang berbeda. Allah dengan kekuasaan-Nya yang tanpa batas, bisa menjatuhkan atau mendudukkan kepemimpinan seseorang dengan cara-Nya sendiri. Hukum Allah yang pasti adalah akan menjaga dan meneguhkan kepemimpinan seseorang (sekelompok orang) yang sejalan dengan ajaran-Nya. Islam sesungguhnya tidak mempersoalkan bentuk mekanisme kompetisinya, namun lebih menekankan pada sifat-sifat kompetisi tersebut. Seorang pemimpin bisa saja hadir melalui mekanisme pemilihan langsung, pemilihan tidak langsung atau bahkan pengangkatan. Tetapi Islam menegaskan tentang syarat-syarat seseorang menjadi pemimpin, nilai-nilai syura dalam rekrutmen kepemimpinan, dan sikap-perilaku menjalankan kepemimpinan.Saya ingin mengoreksi satu pemahaman salah tentang konsep khalifah. Ada sementara kalangan dari umat Islam yang meyakini bahwa konsep kekhalifahan baru bisa dijalankan dan ditegakkan ketika kehidupan ini sudah ada dalam bingkai sistem Islam. Sehingga yang terjadi kemudian, mereka akan menjauhkan diri dari ruang kompetisi kepemimpinan jika itu berlangsung dalam suatu ruang (negara) yang belum berada dalam bingkai sistem Islam. Akibatnya, muncullah sikap mengharamkan demokrasi, pemilu dan juga pilkada. Memang kalangan ini memiliki dasar hujjah-nya sendiri. Namun dampak yang pasti adalah ruang-ruang kompetisi kepemimpinan di mana ummat berposisi sebagai obyek kepemimpinan dan kekuasaan, tidak lagi diisi oleh orang-orang yang lebih berhak menjalankan posisi dan peran kekhalifahan.Dalam konteks persoalan inilah saya ingin mengajak Anda bicara tentang Istikhlaf. Pengertian Istikhlafadalah proses menuju eksisnya kepemimpinan yang diinginkan oleh Allah dan Islam. Proses yang dimaksud tentu saja dalam arti luas. Bukan saja pada mekanisme yang dijalankan, tetapi juga pada kondisi prosesual yang dinamis, yang bisa saja dipersepsi belum sepenuhnya sesuai dengan konsep nilai-nilai Islam. Artinya, keterlibatan seorang muslim (kelompok umat) dalam kompetisi kepemimpinan dalam ruang yang belum sepenuhnya selaras dengan nilai Islam adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan ruang kehidupan yang Islami. Menjauhkannya berarti memperlambat upaya tersebut.Saya ingin mengajak Anda menyimak firman Allah berikut ini:”Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya penguasa-penguasa yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal telah Kami teguhkan kekuasaan mereka di muka bumi, yaitu kekuasaan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. Dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka penguasa yang lain..” (Al-An’aam: 6).Ayat ini menjelaskan suatu kondisi di mana muncul satu ruang kehidupan yang para penguasanya menjauhkan diri dari nilai-nilai kebenaran, dan mengisinya dengan beragam kejahatan. Lalu sesuai hukum kekuasaan Allah, para penguasa itu dijatuhkan untuk kemudian Allah berikan ruang kompetisi bagi munculnya penguasa-penguasa baru. Pada ayat ini Allah tidak memastikan sosok penguasa baru yang muncul. Pesan penting ayat ini adalah sirkulasi kepemimpinan dan kekuasaan itu pasti akan terjadi. Ruang kompetisi akan memunculkan sosok kepemimpinan baru dari mereka-mereka yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Inilah makna istikhlaf, proses menuju kepemimpinan dan kekuasaan.Saudaraku, selama 63 tahun menjadi negara merdeka, di negeri ini telah berlangsung dari pemilu ke pemilu, dari pilakada ke pilkada, sampai dari pilkades ke pilkades. Ini adalah mekanisme kompetisi ruang kepemimpinan yang tersedia, meski nilai dan prosedurnya terus dinamis mengalami berbagai perubahan ke arah perbaikan. Pertanyaan pentingnya, sudahkah kompetisi ini memunculkan sosok pemimpin yang berjatidiri khalifatullah fil-ardh? Atau sudahkah ummat ini benar-benar terlibat (sebagai suatu entitas politik) dalam proses kompetisi ini?Jawaban atas pertanyaan ini memang tidak mudah, bahkan kompleks. Namun ada satu guidance yang Allah letakkan atas kita. Bahkan ini merupakan janji Allah atas kita. Mari perhatikan firman Allah berikut ini:”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku..” (An-Nuur: 55).Ayat di atas membimbing kita akan beberapa hal mendasar. Pertama, sirkulasi kepemimpinan dan kekuasaan adalah bagian dari proyek Allah untuk meneguhkan posisi manusia sebagai khalifatullah fil-ardh. Allah terlibat dalam setiap prosesnya, baik itu mencabut kekuasaan atau meneguhkan kekuasaan manusia. Kedua, maka seorang muslim harus terlibat sepenuhnya dalam proses kompetisi kepemimpinan dan kekuasaan, agar peluang itu tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan. Ketiga, secara tegas Allah menetapkan syarat utama calon pemimpin adalah integritas (iman) dan kapabilitas (amal shaleh). Keempat, bahwa kepemimpinan adalah salah satu pilar mewujudkan sistem kehidupan yang benar dan baik. Kelima, kepemimpinan dan sistem kehidupan yang benar dan baik akan mampu mewujudkan perubahan kondisi kehidupan yang diinginkan manusia (secara keseluruhan). Karena kebaikan Islam itu akan mendatangkan manfaat bagi seluruh manusia dan alam semesta. Terakhir, tujuan akhir kepemimpinan dan kekuasaan adalah menjaga spirit Tauhid, sehingga manusia bisa menghadap Al-Khaliq dengan selamat di hari kemudian kelak.Nah saudaraku, jika demikian halnya, bagaimana mungkin kita bisa segera menikmati kehidupan yang digambarkan sebagai hayatun-thayyibah atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur, jika masih ada di antara ummat ini yang terus berdebat atau menolak terlibat dalam proses istikhlaf? Setelah membicarakan sifat Islam yang inklusif, sekarang saya ingin mengajak Anda mengelaborasi satu konsep penting ... Baca selengkapnya »
At-Taskhir Salah satu tujuan dari kepemimpinan dan kekuasaan adalah isti’mar al-ardh,yaitu memakmurkan kehidupan umat manusia. Kepemimpinan yang sukses terletak pada kemampuannya untuk mendayagunakan berbagai sumber daya kekuatan itu. Pernahkah kita menyadari bahwa Nabi Sulaiman as bahkan bahkan memiliki kemampuan untuk mendayagunakan potensi kekuatan bangsa Jin dan hewan untuk mewujudkan tujuan kekuasaannya sebagai raja. Saya bukan ingin mengajak Anda berfikir agar salah satu syarat calon Presiden adalah mampu menundukkan sumber daya Jin. Tapi ingin menyajikan satu perspektif prinsipil bahwa kepemimpinan dan kekuasaan harus mampu melihat berbagai potensi sumber daya yang ada atau diadakan sebagai energi positif yang mesti dikelola. Bukankah Rasulullah saw pernah memberi isyarat bahwa satu waktu agama Islam ini akan ditolong oleh rajulun fajir? yaitu orang-orang yang jauh dari standar keimanan dan keshalehan, namun memiliki kekuatan yang bisa didayagunakan.Salah satu kesalahan berfikir dan bersikap di antara kaum muslimin adalah ketika menakar dan menseleksi unsur-unsur kekuatan yang layak dilibatkan dalam proses istikhlaf menurut ukuran keimanan dan keshalehan. Mereka yang di luar itu lalu diposisikan sebagai lawan yang harus dicurigai atau bahkan dimusuhi. Ini pula yang telah menciptakan polarisasi klasik antara kekuatan politik Islam dan kekuatan politik non-Islam, dengan beragam label ideologi dan aliran politiknya.Masih menurut mereka, adalah suatu keanehan dan penyimpangan manakala ada kekuatan politik Islam bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan politik non-Islam. Ditambah lagi satu obsesi bahwa kekuatan-kekuatan politik Islam harus bersatu di bawah satu bendera saja, untuk kemudian berhadapan vis a vis dengan selainnya. Sejumlah dalil dan tafsir sejarah pun disertakan untuk melanggengkan paham ini. Saudaraku, perlu kita pahami bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah wilayah al-mashlahah al-‘ammah, atau domain kepentingan umum. Kepemimpinan menurut Islam adalah untuk kemashlahatan semua manusia yang bernaung di dalam ruang kekuasaan itu, siapapun mereka. Bahkan juga untuk kemashlahatan semua makhluk selain manusia. Coba lihat, bukankah syariat Islam juga mengatur hak-hak bangsa Jin yang tidak boleh kita zhalimi. Misalnya kita dianjurkan Rasulullah untuk tidak memakan tulang, karena itu aset pangan bangsa Jin. Sementara sekarang berkembang menu makanan berduri atau bertulang lunak, sehingga ludes semua hak bangsa Jin itu dimangsa manusia.Saya minta maaf jika mengambil contoh ektrem dan paradoks, dikarenakan ini adalah perkara penting. Yaitu menyangkut cara pandang yang membentuk perilaku kita dalam kerangka bermasyarakat dan bernegara. Kepemimpinan dan kekuasaan yang bercirikan pendayagunaan berbagai sumber daya kekuatan untuk pencapaian tujuan isti’mar al-ardh ini yang disebut sebagai At-Taskhir. Konsep ini mengacu kepada firman Allah: ”Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di bumi, dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (Luqman: 20).Ketika Allah menetapkan Takrim (pemuliaan) posisi manusia sebagai Khalifatullah fil-Ardh, maka Allah ikuti dengan Taskhir. yaitu penyediaan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas kepemimpinan. Secara tabiat, berbagai sumber daya itu bersifat tunduk kepada kekuasaan untuk dikelola menjadi energi positif. Dan secara tabiat pula, kepemimpinan manusia mampu menundukkan mereka. Dari konsep dan prinsip Taskhir, maka pahamlah kita praktek kepemimpinan dan kekuasaan yang dijalankan oleh Rasulullah saw. Bagaimana beliau mendayagunakan posisi terhormat nasabnya untuk bernegosiasi dengan a-immatul-kufr (pemimpin-pemimpin kekufuran) Makkah. Bagaimana beliau membangun komunikasi dan aliansi dengan Raja Habasyah untuk keperluan suaka politik sebagian sahabatnya. Bagaimana beliau gunakan tangan-tangan sebagian tokoh musyrikin Makkah untuk mencabut embargo dan blokade terhadap komunitas kaum muslimin yang sudah berlangsung selama tiga tahun. Bagaimana beliau menyewa secara profesional Abdullah Uraiqith seorang musyrik sebagai pemandu jalan saat hijrah ke Madinah. Juga bagaimana beliau merekrut tokoh-tokoh simpul dari kelompok-kelompok besar masyarakat Madinah, dan memuliakan posisi mereka. Bagaimana beliau membiarkan keberadaan tokoh-tokoh munafik Madinah, namun membatasi ruang-geraknya. Bagaimana beliau mengakomodir kepentingan kelompok-kelompok Yahudi dalam Piagam Madinah, dan mengikat mereka dengan klausul hukum yang tegas. Bagaimana beliau menolak kehadiran Abu Jundul dan pengikutnya untuk masuk Madinah, dan bersikap diam atas berbagai operasi yang mereka lakukan terhadap kafilah-kafilah dagang Quraisy Makkah. Juga bagaimana Rasulullah membuka luas arus perdagangan antar negara di Madinah. Bagaimana beliau menugaskan beberapa sahabat untuk mempelajari bahasa dan budaya Yahudi dan Nasrani. Bagaimana beliau mengadopsi banyak tradisi dan teknologi negara atau bangsa lain untuk kemashlahatan ummat. Termasuk dalam hal Rasulullah saw menikahi Shafiyyah, seorang putri tokoh sentral Yahudi yang ditaklukkan dalam peperangan. Ikhwah fillah, konsep Taskhir tentu saja berdimensi sangat luas. Pastinya ia melekat pada konsep kepemimpinan dan kekuasaan. Ia menyangkut penundukkan dan pendayagunaan berbagai sumber daya alam untuk kemakmuran. Menyangkut penundukkan dan pendayagunaan sumber daya manusia dengan aneka keragamannya untuk mewujudkan masyarakat hadhari atau berperadaban. Juga menyangkut penundukkan dan pendayagunakan berbagai potensi kekuatan buruk atau destruktif menjadi unsur kekuatan yang positif atau minimal netral.Memimpin dunia berarti meletakkan semua komponennya di bawah kendali kita. Seorang pemimpin akan memandang semua yang ada di sekelilingnya sebagai sumber daya potensial yang harus dikelola dan ditundukkan. Siapapun, apapun dan bagaimanapun adanya. Seorang pemimpin tidak akan mudah melakukan fragmentasi atau pengkotak-kotakan, lalu melakukan sikap baro’ah atau garis demarkasi terhadap kotak-kotak yang berbeda dengan dirinya. Secara aqidah dan ibadah memang harus dan mudah untuk membeda-bedakan manusia. Namun sekali lagi, kepemimpinan dan kekuasaan adalah wilayah al-mashlahah al-’ammah.Nah saudaraku, mari kita lihat kembali Indonesia negeri kita yang besar ini. Semangat kita pastilah ingin memimpin negeri ini. Mari lihat dengan cermat; begitu beragamnya penduduk negeri ini dari suku, bahasa, agama, budaya dan aneka ikatan primordial lainnya. Bahkan keberagaman itu terlihat jelas di umat Islam sebagai komponen mayoritas penduduknya. Perbedaan aliran fiqh, ormas atau kelompok, tingkat pemahaman dan komitmen terhadap syari’at, hingga perbedaan cara memperjuangkan aspirasinya. Indonesia begitu melimpah ruah sumber daya alam dan ekonominya. Namun lihatlah sebagian besar didominasi oleh aktor-aktor bisnis non-muslim, bahkan asing. Lihat juga tentara sebagai garda depan pertahanan negara. Untuk waktu lama mereka didoktrin bahwa Islam adalah ancaman terhadap (kekuasaan) negara. Lalu lihat juga begitu banyaknya para pegiat sosial, budaya, hukum dan politik yang ingin mendorong demokratisasi di berbagai bidang, namun memiliki referensi ideologi aneka warna.Kenyataan lainnya, bangsa ini makin terpuruk dalam lubang kemiskinan. Menurunnya daya beli masyarakat, meningkatnya angka pengangguran, tingkat inflasi yang makin membumbung, angka putus sekolah masih tinggi, kriminalitas masih merajalela, korupsi tak pernah berhenti, budaya bebas dan semau gue jadi tren generasi muda, patriotisme dan semangat kebangsaan makin tipis, dan mengagungkan budaya barat jadi simbol kemajuan.Negeri ini butuh kepemimpinan yang baik. Barisan dakwah memiliki modal paling pokok untuk memimpin. Yaitu manusia-manusia yang sadar akan posisinya sebagai khalifatullah dan sadar akan statusnya sebagai ‘abdullah (hamba Allah) yang harus beriman dan beramal shaleh. Istikhlaf (proses menuju kepemimpinan) tidak cukup hanya dengan seruan atau teriakan. Tapi juga pada sejauh mana kita mampu mengkapitalisasi berbagai sumber daya kekuatan untuk dihimpun menjadi energi positif untuk tujuan mulia. Di sinilah sifat inklusif Islam memberi jalan bagi tathbiq ru’yah at-taskhir, atau implementasi pandangan taskhir sebagai syarat mulusnya proses istikhlaf. Wallahu a’laam bish-showaab. Salah satu tujuan dari kepemimpinan dan kekuasaan adalah isti’mar al-ardh, yaitu memakmurkan kehidupan umat manusia ... Baca selengkapnya »