Setelah membicarakan sifat Islam yang inklusif, sekarang saya ingin mengajak Anda mengelaborasi satu konsep penting lainnya, yaitu al-istikhlaf. Ini berkaitan erat dengan posisi dasar yang Allah letakkan pada manusia dalam eksistensinya di kehidupan dunia. Yaitu menjadi khalifatullah fil-ardh.
Posisi khalifah adalah takdir kepemimpinan yang Allah berikan kepada manusia untuk mengelola kehidupan di muka bumi ini sesuai dengan ajaran Allah SWT. Untuk itu, Allah meletakkan berbagai potensi dan kemampuan yang dibutuhkan setiap manusia untuk mampu menjalankan kepemimpinannya. Ini yang disebut konsep At-Taskhir, yang akan saya bicarakan kemudian.
Banyak pihak memahami posisi khalifah sebagai kepemimpinan politik, dalam suatu bangunan negara misalnya. Pemahaman ini tidak salah, namun tidak utuh. Pada dasarnya posisi kepemimpinan ini melekat pada diri manusia dalam dimensi ruang, waktu dan keadaan apa saja. Posisi dan peran ini bisa dijalankan manusia atas dirinya sendiri, dalam ruang keluarga, masyarakat dan tentu juga negara.
Memang harus diakui, wacana paling dominan adalah posisi khalifah dalam ruang negara. Dan inilah wacana yang sering memunculkan perdebatan di kalangan umat Islam serta memunculkan kecemasan di kalangan luar umat Islam. Bahkan seringkali tanpa sadar sifat inklusivitas Islam jadi dipertentangkan dengan konsep kekhalifahan.
Saudaraku, tahukah kita kapan seseorang itu bisa menjadi pemimpin dan penguasa (politik)? Yaitu ketika seseorang (atau sekelompok orang) mampu memenangkan ruang kompetisi yang disediakan oleh setiap mekanisme yang disepakati. Dalam hukum manusia, seseorang yang mampu mengendalikan sumberdaya secara maksimal, maka ia paling berpeluang memenangkan kompetisi kepemimpinan. Meski hukum Allah seringkali menunjukkan hal yang berbeda. Allah dengan kekuasaan-Nya yang tanpa batas, bisa menjatuhkan atau mendudukkan kepemimpinan seseorang dengan cara-Nya sendiri. Hukum Allah yang pasti adalah akan menjaga dan meneguhkan kepemimpinan seseorang (sekelompok orang) yang sejalan dengan ajaran-Nya.
Islam sesungguhnya tidak mempersoalkan bentuk mekanisme kompetisinya, namun lebih menekankan pada sifat-sifat kompetisi tersebut. Seorang pemimpin bisa saja hadir melalui mekanisme pemilihan langsung, pemilihan tidak langsung atau bahkan pengangkatan. Tetapi Islam menegaskan tentang syarat-syarat seseorang menjadi pemimpin, nilai-nilai syura dalam rekrutmen kepemimpinan, dan sikap-perilaku menjalankan kepemimpinan.
Saya ingin mengoreksi satu pemahaman salah tentang konsep khalifah. Ada sementara kalangan dari umat Islam yang meyakini bahwa konsep kekhalifahan baru bisa dijalankan dan ditegakkan ketika kehidupan ini sudah ada dalam bingkai sistem Islam. Sehingga yang terjadi kemudian, mereka akan menjauhkan diri dari ruang kompetisi kepemimpinan jika itu berlangsung dalam suatu ruang (negara) yang belum berada dalam bingkai sistem Islam. Akibatnya, muncullah sikap mengharamkan demokrasi, pemilu dan juga pilkada. Memang kalangan ini memiliki dasar hujjah-nya sendiri. Namun dampak yang pasti adalah ruang-ruang kompetisi kepemimpinan di mana ummat berposisi sebagai obyek kepemimpinan dan kekuasaan, tidak lagi diisi oleh orang-orang yang lebih berhak menjalankan posisi dan peran kekhalifahan.
Dalam konteks persoalan inilah saya ingin mengajak Anda bicara tentang Istikhlaf. Pengertian Istikhlafadalah proses menuju eksisnya kepemimpinan yang diinginkan oleh Allah dan Islam. Proses yang dimaksud tentu saja dalam arti luas. Bukan saja pada mekanisme yang dijalankan, tetapi juga pada kondisi prosesual yang dinamis, yang bisa saja dipersepsi belum sepenuhnya sesuai dengan konsep nilai-nilai Islam. Artinya, keterlibatan seorang muslim (kelompok umat) dalam kompetisi kepemimpinan dalam ruang yang belum sepenuhnya selaras dengan nilai Islam adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan ruang kehidupan yang Islami. Menjauhkannya berarti memperlambat upaya tersebut.
Saya ingin mengajak Anda menyimak firman Allah berikut ini:
”Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya penguasa-penguasa yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal telah Kami teguhkan kekuasaan mereka di muka bumi, yaitu kekuasaan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. Dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka penguasa yang lain..” (Al-An’aam: 6).
Ayat ini menjelaskan suatu kondisi di mana muncul satu ruang kehidupan yang para penguasanya menjauhkan diri dari nilai-nilai kebenaran, dan mengisinya dengan beragam kejahatan. Lalu sesuai hukum kekuasaan Allah, para penguasa itu dijatuhkan untuk kemudian Allah berikan ruang kompetisi bagi munculnya penguasa-penguasa baru. Pada ayat ini Allah tidak memastikan sosok penguasa baru yang muncul. Pesan penting ayat ini adalah sirkulasi kepemimpinan dan kekuasaan itu pasti akan terjadi. Ruang kompetisi akan memunculkan sosok kepemimpinan baru dari mereka-mereka yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Inilah makna istikhlaf, proses menuju kepemimpinan dan kekuasaan.
Saudaraku, selama 63 tahun menjadi negara merdeka, di negeri ini telah berlangsung dari pemilu ke pemilu, dari pilakada ke pilkada, sampai dari pilkades ke pilkades. Ini adalah mekanisme kompetisi ruang kepemimpinan yang tersedia, meski nilai dan prosedurnya terus dinamis mengalami berbagai perubahan ke arah perbaikan. Pertanyaan pentingnya, sudahkah kompetisi ini memunculkan sosok pemimpin yang berjatidiri khalifatullah fil-ardh? Atau sudahkah ummat ini benar-benar terlibat (sebagai suatu entitas politik) dalam proses kompetisi ini?
Jawaban atas pertanyaan ini memang tidak mudah, bahkan kompleks. Namun ada satu guidance yang Allah letakkan atas kita. Bahkan ini merupakan janji Allah atas kita. Mari perhatikan firman Allah berikut ini:
”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku..” (An-Nuur: 55).
Ayat di atas membimbing kita akan beberapa hal mendasar.
Pertama, sirkulasi kepemimpinan dan kekuasaan adalah bagian dari proyek Allah untuk meneguhkan posisi manusia sebagai khalifatullah fil-ardh. Allah terlibat dalam setiap prosesnya, baik itu mencabut kekuasaan atau meneguhkan kekuasaan manusia.
Kedua, maka seorang muslim harus terlibat sepenuhnya dalam proses kompetisi kepemimpinan dan kekuasaan, agar peluang itu tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan.
Ketiga, secara tegas Allah menetapkan syarat utama calon pemimpin adalah integritas (iman) dan kapabilitas (amal shaleh).
Keempat, bahwa kepemimpinan adalah salah satu pilar mewujudkan sistem kehidupan yang benar dan baik.
Kelima, kepemimpinan dan sistem kehidupan yang benar dan baik akan mampu mewujudkan perubahan kondisi kehidupan yang diinginkan manusia (secara keseluruhan). Karena kebaikan Islam itu akan mendatangkan manfaat bagi seluruh manusia dan alam semesta.
Terakhir, tujuan akhir kepemimpinan dan kekuasaan adalah menjaga spirit Tauhid, sehingga manusia bisa menghadap Al-Khaliq dengan selamat di hari kemudian kelak.
Nah saudaraku, jika demikian halnya, bagaimana mungkin kita bisa segera menikmati kehidupan yang digambarkan sebagai hayatun-thayyibah atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur, jika masih ada di antara ummat ini yang terus berdebat atau menolak terlibat dalam proses istikhlaf?
0 komentar:
Posting Komentar