Select Menu


Oleh:  Samin Barkah
Betapa banyak nikmat dan karunia Allah yang telah kita rasakan dan akan terus kita dapatkan hingga ajal menjelang. Kelimpahan nikmat dan kebaikan yang Allah berikan kepada manusia disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Mulk:1)

Pada ayat di atas, Al-Quran mengungkapkan “kelimpahan kebaikan Allah” dengan ungkapan تَبَارَكَ. Secara bahasa, تَبَارَكَ berarti Maha Pemberi kebaikan yang berlimpah dan tak terhingga. Kelimpahan kebaikan dari Allah biasa kita sebut dengan berkah. Seperti diungkapkan oleh para mufassir (ulama tafsir) bahwa makna tabarak seperti disebut di atas dapat kita lihat pada ayat:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا

“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat menghitungnya.” (Ibrahim:34)

Dari sekian banyak nikmat yang kita dapatkan, ada beberapa nikmat yang besar dan bahkan nikmat inilah yang dapat mengantarkan kita kepada kenikmatan abadi, di surga-Nya. Yaitu nikmat iman dan Islam.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan buat kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (Al-Maidah:3)

Allah menjadikan Islam sebagai salah satu nikmat-Nya yang besar dan menyempurnakan nikmat-Nya yang lain. Permasalahannya adalah bagaimana kita mensyukuri nikmat terbesar ini? Kita menyaksikan di beberapa negara bahwa banyak manusia yang terlahir, tumbuh dan besar di lingkungan non-muslim, bahkan hingga ruh keluar dari jasad, meninggal dunia.

Karena itu, bukankah karunia besar ini patut kita syukuri? Karunia terbesar bagi manusia agar di akhirat mendapatkan kenikmatan abadi. Seberapa dalam pengenalan manusia akan besarnya nikmat ini akan menentukan seberapa besar dia bersyukur. Manusia yang mempunyai pengenalan akan hakikat ini tidaklah banyak, sebagaimana firman Allah:

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima kasih.” (Saba:13)

Betapa sulitnya manusia menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur sampai-sampai Allah menjanjikan balasan berlipat bagi hamba-Nya yang bersyukur. Di sisi lain, Allah mengancam manusia yang tidak mensyukuri nikmat-Nya dengan siksa yang pedih:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (Ibrahim:7)

Akan banyak lagi pembicaraan dan pembahasan tentang nikmat sebagaimana banyak dan berlimpahnya nikmat Allah. Dari penjelasan di atas, cukuplah bagi seorang muslim untuk senantiasa bersyukur dan merefleksikan kesyukurannya dengan cara membela risalah Islam.

Islam bukan hanya urusan pribadi. Islam merupakan sebuah risalah atau misi kehidupan yang harus diperjuangkan oleh umatnya. Islam merupakan sebuah arus kehidupan dan ideologi yang nilai-nilainya harus berjalan di muka bumi. Umat Islam harus mempunyai kejelasan afiliasi kepada gerakan dakwah. Sebuah gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang bertujuan agar risalah Islam menjadi arus dan ideologi yang mengarahkan manusia dalam hidupnya.

Afiliasi (intima) kepada Islam dan gerakan dakwah menjadi ukuran solidnya umat Islam dalam perjuangannya. Bukankah ini menjadi salah satu bentuk kesyukuran manusia atas segala nikmat dan karunia Allah yang ia dapatkan?

Islam merupakan ideologi dan risalah Allah yang harus disampaikan kepada seluruh manusia agar menjadi rahmat bagi seluruh manusia, bahkan bagi alam semesta. Tugas mengemban risalah Islam ini memerlukan orang-orang yang memiliki afiliasi dan loyalitas yang kuat kepada Islam dan gerakan dakwah. Dalam kerangka inilah, para aktivis mengekspresikan kesyukurannya dalam bentuk loyalitas dan afiliasi kepada gerakan dakwah.

Intima kepada Islam bukan berarti mengungkung manusia, mengikat manusia dan merasa tidak merdeka. Sisi lain dari pemahaman intima yang dapat diwujudkan adalah seperti yang dikatakan Imam Syafi’i dalam sebuah sya’irnya,

الحُرُّ مَنْ رَاعَى وِدَادَ لحَظَةٍ *** أَو انْتَمَى لمِنَ أَفَادَهُ لَفْظَة

Orang yang merdeka adalah orang menjaga (merawat) kasih sayang (ukhuwah) yang hanya sebentar atau orang yang berafiliasi kepada orang yang telah memberikan manfaat meski hanya satu kata.

Dakwah dan tarbiyah islamiyah telah memberikan sesuatu yang banyak kepada para aktivis dakwah. Mereka bukan hanya menerima ukhuwah sesaat dari aktivis lainnya, bahkan bertahun-tahun mereka telah menjalin ukhuwah. Ilmu dan nilai yang bermanfaat telah banyak didapatkan dari murabbi dan aktivis sejawat. Karena itu, betapa banyak kebaikan yang didapat para aktivis.
Kesyukuran kepada Allah salah satu caranya adalah dengan berterima kasih kepada manusia. Rasulullah saw bersabda:

لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ (رواه أحمد وأبو داود)

“Tidak (dikatakan) bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Banyaknya kebaikan yang didapat dari dakwah dan tarbiyah islamiyah, maka belum dapat dikatakan merdeka jika aktivis tidak berterima kasih kepada para dai, murabbi dan yang telah menunaikan hak ukhuwah kepada kita. Bukan hanya “lahzhah,” beberapa menit, tetapi bertahun-tahun kebaikan ukhuwah tersebut telah diberikan. Wallahu a’lam.

Sumber: dakwatuna.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top