Ketika tiba kembali di antara kaumnya, Ghaurats berkata, “Aku baru saja kembali dari sebaik-baiknya orang di dunia ini!” Dia pun lalu memeluk agama Islam.
Pada Bulan Rabi’ul Awal 7 Hijriah, Nabi melakukan perjalanan bersama pasukannya menuju daerah Najd dalam sebuah peperangan. Setelah dua hari perjalanan, beliau tiba dan beristirahat di Nakhl, tidak jauh dari Ghathafan.
Kebanyakan anggota pasukan tersebut berjalan kaki sehingga banyak di antara mereka kakinya pecah-pecah dan melepuh, ada juga yang kukunya terkelupas.
Mereka membalut kaki-kaki mereka dengan kain-kain perca, karena itulah peperangan itu diberi nama Dzatur Riqa’ (yang ada tambalannya), dan tempat mereka singgah diberi nama yang sama, Dzatur Riqa’.
Saat itulah salah seorang musyrikin bernama Ghaurats bin Harits (Dutsur), berasal dari Bani Muharib (suku Badui), berniat membunuh Nabi SAW.
Ia berhasil menyelinap di perkemahan kaum muslim, dan melihat Nabi SAW sedang tertidur di bawah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di salah satu ranting pohon tersebut. Ghaurats mengambil pedang itu, lalu mengacungkan kepada beliau sambil menghardik, “Wahai Muhammad, tidakkah engkau takut kepadaku?”
Nabi SAW segera terbangun dan berkata dengan tenang, “Tidak!”
“Siapakah yang akan menghalangiku untuk membunuhmu?” Tanya Ghaurats lagi.
“Allah!” Kata Nabi SAW.
Mendengar kata Allah yang terlontar dari bibir Rasulullah SAW itu, tiba-tiba tubuhnya serasa lumpuh dan pedang itu terlepas dari tangannya, ia jatuh terduduk.
Nabi segera mengambil pedang itu dan mengacungkannya kepada Ghaurats, dan balik bertanya, “Siapa yang bisa menghalangiku untuk membunuhmu?”
Dengan gugup dan wajah pucat, Dutsur berkata, “Tidak ada!”
“Jadilah engkau orang yang sebaik-baiknya menjatuhkan hukuman!” ujarnya pasrah tak berdaya, siap menerima hukuman apapun yang akan dijatuhkan Nabi kepadanya.
Nabi SAW tersenyum mendengar jawabannya itu, dan berkata, “Kalau begitu bersaksilah engkau bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah.”
“Tidak,” kata Ghaurats masih membangkang. “Tetapi aku berjanji kepadamu untuk tidak memusuhimu, dan tidak akan bergabung dengan orang-orang yang memusuhimu!”
Memang tidak ada paksaan dalam memeluk Islam, hidayah adalah hak mutlak Allah, terserah Allah kepada siapa akan diberikan. Nabi tidak memaksa Ghaurats, beliau lalu memaafkan dan melepaskannya.
Ketika tiba kembali di antara kaumnya, Ghaurats berkata, “Aku baru saja kembali dari sebaik-baiknya orang di dunia ini!” Dia pun lalu memeluk agama Islam.
Teladan seperti contoh di atas telah sering diberikan Nabi. Kejahatan tidak perlu dibalas dengan kejahatan, fitnah tidak perlu dibalas fitnah, pengkianatan tidak perlu dibalas dengan pengkhianatan.
Karena dalam kenyataannya, hal itu tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah memperburuk suasana, memperkeruh keadaan dan dendam tak berkesudahan.
Apakah yang kita cari dan tujuan hidup di dunia ini, selain kebahagiaan? Bermanfaatkah harta yang banyak, pangkat dan jabatan yang tinggi, gelar selangit jika semua itu tidak membuat kita bahagia?
Firman Allah QS 28:77, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagia mu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dalam QS 17:7 Allah juga berfirman, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS 17:7)
Dalam Al Quran dengan tegas Allah mengatakan orang yang berbuat jahat, kejahatan itu, seperti bumerang, akan berbalik kepada pelakunya. Orang yang berbuat keburukan akan mengotori perasaan dan hatinya sendiri.
Ia selalu merasa tak tenang, merasa tak puas, tak nyaman, wajahnya suram dan penuh kedengkian. Ia selalu dihantui perasaan dan perbuatannya sendiri.
Dalam QS 55:60 secara singkat Allah lebih menegaskan, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”.
Dalam pepatah Minang dikatakan, jiko lai padi nan ditanam ndak mungkin ilalang nan tumbuah. Siapa yang menyebar angin, akan menuai badai, begitu bunyi istilah yang sempat populer beberapa waktu lalu.
Irwan Prayitno |
Allah itu ada dan selalu bersama kita. Ia Maha Tahu dan Maha Bijaksana menilai dan membalas semua amal dan perbuatan yang kita lakukan, perbuatan yang baik maupun yang buruk. Tak ada satupun peristiwa yang di luar kendali dan pengamatan Allah.
Semoga kita menjadi hamba yang dicintai Allah, dalam ridho Allah serta bisa menikmati kebahagian dunia dalam arti sesungguhnya dan memperoleh pula kebahagiaan di akhirat kelak. Aamiin. (*)
Singgalang 1 Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar