Berbanggalah menjadi pelajar Muslim. Karena, pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mencetak generasi yang memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan spiritual dan sosial.
Pencerdasan intelektual tercermin dalam proses ta’lim. Aneka ilmu diajarkan. Ada ilmu ukhrawi, seperti Tauhid, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Hadis, Kalam, dan lainnya. Juga ilmu duniawi, seperti Sosiologi, Ekonomi, Geografi, Bahasa, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan semacamnya. Pencerdasan spiritual tampak pada proses tarbiyah, yang meliputi pendidikan akhlak dan ibadah. Sementara, pencerdasan sosial dibangun melalui proses ta’dib, seperti budaya sopan santun dan organisasi.
Harapannya, pelajar Muslim kelak tumbuh menjadi manusia yang unggul. Manusia unggul, tutur Prof. Dr. Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, adalah manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri, dapat dipercaya, sanggup membersihkan tubuh dan jiwa, serta selalu berpikir dan berbuat untuk kemaslahatan umat banyak.
Itulah profil pelajar Muslim. Karena itu, di tengah perubahan zaman yang demikian pesat, pelajar Muslim dituntut mampu menjadi manusia modern. Siapa manusia modern? Yaitu mereka yang mampu hidup mesra dengan deru kemajuan tanpa harus tergilas roda zaman. Untuk memenuhi tuntutan itu, maka pelajar Muslim harus memiliki tiga pondasi penting dalam hidupnya: iman, ilmu, dan akhlak. Tiga pondasi ini harus diletakkan secara berurutan. Merubah urutannya akan merancukan makna.
Pondasi Iman
Iman merupakan pondasi yang pertama dan utama dalam hidup manusia. Kebaikan tanpa iman akan sia-sia belaka. Iman juga menjadi syarat diterimanya ibadah. Simak pelajaran pertama yang disampaikan Luqman kepada putranya. “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada putranya, ketika dia memberikan pelajaran kepadanya: Wahai anakku. Jangan engkau menyekutukan Allah. Sungguh menyekutukan Allah itu benar-benar kezaliman yang besar” (Al-Luqman: 13).
Luqman telah menjadikan iman atau tauhid sebagai misi utama pendidikannya. Jadi, sekolah yang bagus bukan sekolah yang megah gedungnya, mahal biayanya, membeludak muridnya, dan segudang label simbolis serupa. Semua label itu memang penting. Tetapi yang paling penting adalah sekolah mampu menghunjamkan nilai-nilai keimanan ke lubuk sanubari murid-muridnya. Kebahagiaan hakiki tidak mungkin dicapai tanpa iman. Sering kita saksikan orang kaya ilmu dan berlimpah harta justru merana hidupnya. Ilmunya tidak bermanfaat bagi dirinya. Hartanya justru mengundang petaka bagi hidupnya.
Iman menjadi prasyarat mutlak untuk mengarungi bahtera kehidupan. Di antara cara memupuk iman adalah dengan memperbaiki kualitas ibadah. Senantiasa luangkan waktu untuk menjalin komunikasi mesra dengan Tuhan. Ada beberapa ibadah harian yang patut diprogramkan, seperti menjaga wudhu, shalat wajib berjamaah, shalat rawatib, shalat dhuha, shalat tahajud, membaca Alqur’an, serta dzikir pagi dan petang. Mulailah dari yang paling ringan. Tepatilah, sambil terus meningkatkan kualitas masing-masing ibadah itu. Kemudian, rasakan hasilnya.
Perhatikan sabda Rasulullah berikut. “Dan tidaklah hamba-Ku mendekat pada-Ku dengan sesuatu yang amat Aku cintai lebih daripada apabila ia melakukan apa yang Aku wajibkan. Dan tidaklah hamba-Ku mendekat pada-Ku dan melakukan hal-hal sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku akan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, Aku akan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk mengambil, dan Aku akan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Andaikan ia meminta sesuatu pada-Ku, pasti Aku beri dan andaikan ia memohon perlindungan pada-Ku, pasti Aku lindungi” (HR Bukhari).
Pondasi Ilmu
Lihatlah internet. Informasi membanjir kapan saja dan dimana saja. Dunia telah mencapai pucuk peradaban. Hampir tidak ada jenis teknologi yang tidak tersentuh oleh tangan manusia. Itulah hebatnya ilmu. Peradaban jelas tidak cukup dibagun hanya dengan okol tetapi mengabaikan akal. Dan akal itulah rumah dimana ilmu tinggal.
Sekiranya okol manusia memadai sebagai tulang punggung peradaban, pastilah manusia-manusia purba semacam Meganthropus Paleojavanicus, Pithecanthropus Mojokertensis, Pithecanthropus Robustus, Pithecanthropus Erectus, Pithecanthropus Pekinesis, Australopithecus Africanus, dan Neanderthal sudah merajai dunia. Faktanya, mereka punah. Maka sungguh tepat isyarat Alqur’an sebagaimana terbaca dalam wahyu pertama, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan perantara kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak dia ketahui” (Al-Alaq: 1-5).
Membaca itu gerbang ilmu. Mustahil memperoleh ilmu tanpa membaca. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif pernah menyatakan, mata rantai dari upaya mengadabkan manusia dan kehidupan dimulai dari membaca. Bermula dari membaca kata lalu ‘mengeja’ dunia. Tidak heran, sederet nama ahli dan pemikir kaliber dunia adalah mereka yang sangat aktif membaca. Bahkan, pelajaran pertama yang diberikan Allah kepada Nabi Adam adalah pengenalan nama-nama benda. Orang boleh saja memiliki gelar berderet, tetapi tanpa tradisi membaca, pemikirannya pasti akan mandek. Tradisi membaca membuat orang terus belajar sehingga tidak merasa paling pintar dan benar.
Pondasi akhlak
Akhlak merupakan buah iman dan ilmu. Ilmu yang berlandaskan iman senantiasa membimbing manusia ke jalan hidup yang benar, mulia, dan diridhai Allah. Itulah kenapa Allah menjanjikan kedudukan terhormat bagi mereka yang beriman lagi berilmu. “Allah akan meninggikan martabat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu dengan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Mujadalah: 11).
Janji Allah tidak mungkin dusta. Faktanya, kita mengenal nama-nama besar yang terus dikenang sepanjang sejarah oleh karena segudang karya mereka yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Yang paling utama tentu Rasulullah Muhammad SAW. Kemudian para sahabat mulia dan para pengikut mereka. Karya-karya hebat juga lahir dari tokoh-tokoh yang lahir kemudian. Sebut saja misalnya Abu Ja’far At-Thabari, Ibnu Katsir, Imam Nawawi, Imam Ghazali, Sayid Quthub, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibnu Taimiyah, Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, KH. Ahmad Dahlan, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, KH. Hasyim Asy’ari, dan lainnya.
Sepatutnya pelajar Muslim mampu bercermin pada setiap tokoh zaman. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk mengejar ilmu semata demi ilmu. Lebih rendah dan hina lagi ketika ilmu dikejar hanya untuk pencapaian-pencapaian materi yang sifatnya serba duniawi. Ketinggian ilmu harus mampu membimbing pemiliknya menjadi pribadi yang semakin bertakwa kepada Allah. Itulah hakikat ilmu yang bermanfaat, yang akan dapat mengantarkan pemiliknya mencapai kesenangan di dunia sekaligus merengkuh kebahagiaan di akhirat kelak. Semoga!
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/05/17/33432/profil-pelajar-muslim/#ixzz2UG41V8io
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar